Paska penaklukkan kerajaan Gowa (Makassar) oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kondisi politik dan ekspansi kerajaan sekutunya tetap melakukan upaya penaklukkan ke berbagai kerajaan-kerajaan sulawesi selatan yang ingkar pada perjanjian dengan Makassar. Menyerahnya Sultan Hasanuddin kepada VOC, menjadi pemantik kerajaan-kerajaan taklukkan Gowa untuk meminta kemedekaan mereka pada kompeni, terbebas dari belenggu Sultan Hasanuddin, terutama Arung Palakka.
Lain halnya dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa seperti Bima, Dompu, Sanggar dan Tambora. Mereka masih tetap setia dan bertahan dengan warisan kekuasaan kerajaan Gowa bersama para Karaeng yang tidak mau tunduk pada kompeni. Dalam tampuk kekuasaan Sultan Bima atau I`ambela, tetap melakukan perlawanan pada pasukan kerajaan sekutu VOC.
![]() |
Surat Raja Tibore 10 Oktober 1674 (sumber : ANRI) |
Sultan Bima bersama menantunya Karaeng Dompu, Raja Tambora dan Raja Sanggar, tetap menggaungkan perang terhadap kompeni. Kecuali Raja Sumbawa dan Raja Pekat yang saat itu berada dalam kubu kompeni. Dalam akta perjanjian Admiral Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin kerajaan Gowa, Admiral memberikan pasal khusus untuk Raja Bima dan sekutunya agar menyerah, yang termuat dalam pasal 15 sebagai berikut :
15. Pemerintah yang paling tinggi disebutkan mengakui bahwa pembunuhan dan kejahatan mengerikan yang dilakukan oleh Raja Bima, menantu laki-lakinya, Karaeng Dompu, Raja Tambora, Raja Sanggar, dan pengikut mereka, total 25 orang, sebagian besar orang Bima, dalam kemarahan mereka terhadap Perusahaan, telah dilakukan; untuk menyerahkan ke tangan Perusahaan Raja Bima yang sama, dan sebanyak mungkin kaki tangannya yang dapat ditemukan, untuk menerima hukuman yang adil, dan juga Karaeng Bontomaranu, sehingga ia dapat dengan rendah hati meminta pengampunan atas kejahatannya.(Susan, Hzoon 1858 : 146).
Dalam akta perjanjian tersebut Karaeng Dompu menantu laki-lakinya I’ambela. Karaeng Dompu adalah gelar pangeran yang diberikan pada Raja Dompu Abdul Hamid Ahmad oleh kerajaan Gowa, naik tahta menggantikan ayahnya Raja Sirajuddin I pada tahun 1667, dia ikut serta dalam perang Makassar setelah satu tahun naik tahta, kemudian memerangi kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan VOC, salah satunya adalah kerajaan Tibore yang terletak di wilayah Muna, Sulawesi Tenggara. Karaeng Dompu meluluh lantahkan semua wilayah Tibore tersebut.
Bukan hanya kerajaan Tibore yang ditaklukkan oleh Karaeng Dompu, juga kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di utara Muna, termuat dalam sepucuk surat tua Batavia yang bertarikh 10 Oktober 1674, arsip file 2477 (ID-ANRI_K66a_EN), dalam suratnya Raja Tibore meminta bantuan pada kompeni untuk menolong kerajaannya yang sudah banyak mengalami kerusakan. Isi surat Raja Tibore sebagai berikut :
Oleh Raja Tibore.
Keagungan Raja Tibore yang tak kenal takut, hambamu yang tak kenal takut, dalam kekuasaan, memahami kerendahan hati yang kurang dari semua orang lain, akhir datang kepada Tuhan, Sang Pencipta, yang telah dikaruniai oleh Tuhan dengan kekuatan yang besar, akhir yang ingin Tuhan berikan umur panjang dan kemakmuran di dunia ini, akhir di mana-mana, pemerintahan yang kekal, dan sebagainya.
Selanjutnya aku ingin memberitahukan kepada tuanku bahwa Raja Dompu mengatakan bahwa kita berada di bawah dia dan rakyatnya, maka hambamu ini mengirim surat ini kepada Kompeni karena kita ini bukan bawahan Raja Dompu, melainkan bawahan Raja Makassar, dan itu sejak jaman dahulu kala, sebelum Makassar belum runtuh. Lagi pula, kalau Raja Dompu mau mengatakan bahwa kita ini bawahan beliau sebelum ini, itu hanya omong kosong belaka, karena garis keturunan Raja Tibore. dan bukan rakyat siapa pun, melainkan seorang Raja di negerinya sendiri; tetapi karena aku tidak mau meninggikan diri atau meninggikan diri, maka Raja Dompu menjadi ketua kami, sebagaimana yang diceritakan oleh orang-orang tua kami, sampai pada waktu Raja Makassar datang dan menaklukkan negeri-negeri ini, dan pada waktu itu kami semua menjadi takluk kepada Raja Makassar, sebelum Makassar ditaklukkan; kita tidak mempunyai dua penguasa, melainkan satu, yaitu Raja Makassar yang sangat dikenal oleh penguasa Kompeni dan Arampone; maka hambamu ini akan memberitahukan kepada kaum Kompeni bahwa sejak kaum Kompeni menguasai Makassar, maka hamba telah menjadi rakyat kaum Kompeni beserta seluruh rakyat hamba dan akan tetap demikian sampai kepada anak cucu kami, dan tidak akan mengakui siapa pun kecuali kaum Kompeni; maka dengan hormat saya mohon agar Tuan Kompeni tidak hendak memisahkan saya dari negeri, agama dan rakyat saya yang telah dirusak dan dirusak oleh Raja Dompu, seperti kota Wuwu, Sukon, Tompo dan Kalikon; karena sabandar Kalikon didirikan olehku dan tempat itu seperti gudang atau tempat penyimpanan kita, karena di keempat tempat itu kayu secang jatuh, tetapi saat ini apa yang ada di sebidang tanah kecil Tibore ini, adalah milik Perusahaan sendiri dan itu berasal dari hati yang murni dan tulus terhadap Perusahaan; Oleh karena itu saya mohon kepada Tuan Kompeni, jika ada oleh perakilan. dapat mewujudkannya, agar aku dapat membawa kembali rakyatku yang tercerai-berai itu ke bawah ketaatanku, karena, jika Negara membutuhkan aku sekarang, aku tidak akan mampu, karena tanah Tibore telah tandus dan kosong; Harapan satu-satunya kita terletak siang dan malam pada perlindungan Kompeni.
Lagi pula, apabila Raja Dompu mengatakan, bahwa aku telah bersumpah, itu benar, akan tetapi aku bersumpah, bahwa pada waktu Makassar ditaklukkan dan belum ada perdamaian antara kami dengan Kompeni, maka kami dipanggil oleh Raja Dompu untuk berkumpul dan Raja berkata kepada kami: kamu, Raja Tibore, Raja Kore dan Raja Fikat, bagaimana keadaan kalian sekarang? Karena tuan kita, Raja Makassar, kini telah ditaklukkan; Marilah kita bersatu dan menjadi saudara sebagaimana kebiasaan kita selama ini, tetapi tidak tunduk kepada satu sama lain, kata Raja Dompu sambil berjanji kepada kami: Kalian, Raja Tibore, Raja Kore, dan Raja Fikat, jika musuh menyerangku, maka Raja Kore dan Raja Fikat harus menolongku, dan jika musuh menyerang kalian, aku akan melakukan hal yang sama dan menolong kalian seperti saudara; maka kami sepakat, pada waktu utusan Kompeni, baik Arampone maupun yang lain belum muncul bersama kami, oleh karena itu kami telah menuruti perkataan Raja Dompu; karena kami tidak berdaya dan takut, meskipun Raja Dompu, Raja Kore dan Raja Fikat telah merusak negara kami, tanah kami telah dihancurkan dan sekarang sudah tiga tahun hal ini berlangsung dan terjadi kekurangan makanan, sehingga sekarang hari ini rakyat kami terpisah, tanpa alasan atau alasan yang diberikan atau ada yang tertindas atau telah membeli kontrak kami; Namun, Raja Dompu dengan sengaja menantang kita; tetapi sekarang kita telah menyerahkan diri kita ke tangan Kompeni, itu baik dan kita tidak ingin ada urusan dengan siapa pun lagi; dan sebelum pimpinan Kompeni, kapten jenderal Jan Fransz, datang kepada kami, hati kami bagaikan ladang dan semak, yang daun-daunnya telah mengering karena panas, seperti hati kami, tetapi sekarang setelah kapten Jan Fransz datang, hati kami bagaikan kebun buah, yang daun-daunnya mulai menggulung dan, ketika disegarkan oleh hujan, mulai menghasilkan daun dan bunga; demikianlah hati kita semua menjadi.(Van Dher Chijs, 1902)
Oleh Fahrurizki
Penulis Sejarah dan Budaya
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar