ADS

Sebelum adanya dasar negara Republik Indonesia mengenai musyawarah yang tertuang dalam Pancasila terutama pada sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan”, dapat dilihat bahwa negara ini menganut proses musyawarah mufakat untuk memperoleh suatu keputusan bulat. Pancasila yang di gagas pada tanggal 1 Juni 1945 menjadi patokan kehidupan rakyat dalam bernegara.

Namun jauh sebelum tergagasnya musyawarah dalam Pancasila, di Bima pada tahun 1935 sudah tergagas landasan bermusyawarah atau bermufakat dalam kehidupan bernegara, yang pada saat itu Bima masih dalam sistem kesultanan. Dasar kesultanan dan falsafah bangsa Bima tersebut bernama Mbolo ra Dampa yang termuat dalam manuskrip Saffah Jalallah yang artinya Tanda Kebesaran Allah.

Konsep Mbolo berawal dari tradisi Halaqah kaum tarekat yang membentuk melingkar atau dalam bahasa Bima disebuta Mbolo. Tradisi Mbolo merupakan kebudayaan Bima yang hingga kini masih eksis dalam ruang masyarakat. Mbolo adalah identitas silaturahmi masyarakat Bima, segala macam perkara dalam ruang masyarakat akan dibicarakan semua. Namun kini ada pergesaran nilai dari Mbolo tersebut yang hanya digunakan paa saat ada hajatan pernikahan. Pergeseran ini sudah sangat jauh dari nilai yang sebenarnya yaitu bermusyawarah untuk saling bertukar pikiran.

Manuskrip Saffah Jalallah koleksi museum Samparaja

Arti dan makna Dampa dalam penelaan kearifan bahasa Bima adalah sebuah ruang kosong yang dimana ruang kosong ini di isi oleh petuah para Matua yaitu orang-orang yang di tuakan dalam komunitas masyarakat Bima yang sering menuntun solusi kehidupan, Mbolo merupakan metode pendekatan kesultanan pada rakyat.

Mbolo adalah wadah perjumpaan pemikiran dari setiap insan, suatu metode oleh kaum tarekat untuk menyebarkan ajaran pada halaqah mereka. Mbolo adalah perjumpaan budaya dan spiritual. Oleh para Sehe, terutama yang datang dari Sulawesi dalam kultur Bima mereka lazimnya dipanggil Sehe Gowa yang merujuk pada Kerajaan Gowa di Sulawesi. Kemudian dalam Mbolo ada akulturasi yang melekat yaitu Janko, tradisi Janko adalah tradisi sulawesi yang diperkenalkan oleh para Sehe Gowa tersebut, hingga bernaturalisasi dengan ritus keagamaan orang Bima. Janko adalah metode untuk memanggil masyarakat dalam satu halaqah, masyarakat yang datang akan di anggap sebagai murid.

Kembali lagi pada pembahasan manuskrip Saffah Jalallah, kenapa manuskrip ini ditulis, karena mempunyai latar historis yang penting. Dimana pada saat tergesernya nilai musyawarah dan moral orang Bima, tahun 1935 para tokoh dan cendikiawan Bima, Ruma Kali Abdullah, Ahmad Daeng Ngiwu, Ruma Parenta Abdullah, Syekh Muhammad, Daeng Jafu Bumi Luma Rasanae, Ismail Daeng Moi. Mereka menyusun kembali lembaga adat yang selaras dengan aspirasi rakyat, memunculkan nilai moral dan bermusyawarah dalam pedoman Islam dan adat. Saat itu majelis syara sedang di utak atik oleh gagasan kolonial Belanda, pada dekade itu bangsa Bima kehilangan jati diri serta arah berpikir pemerintahan yang menimbulkan perpecahan, banyak para tokoh Bima di buang oleh Hindia Belanda. Karena melihat keadaan ini, maka digagaslah Saffah Jalallah yang di implementasikan kedalam sistem pemerintahan, dimana al-Qur`an menjadi pedoman hidup pada point point penting falsafah pemerintahan atau dalam kultur Bima disebut Fituha.

Dalam skema manuskrip, bagan paling atas dibuatkan simbol Lam Jalallah yang bermakna “Tidak ada daya dan upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah.” Dalam tarekat atau Fituha, Lam Jalallah terkandung makna dari Asma Allah yaitu Al-Jalal (Maha Tinggi) dan Al-Jalil (Maha Agung). Dan sampingnya serta dibawahnya juga diterakan nama-nama Allah yang indah, pada setiap garis bagan juga diselipkan Ayat-ayat al-Qur`an dan hadist. Seperti bagian kanan pojok atas diselipkan Surat al-Baqarah Ayat 34, setelah itu sebuah hadist mengenai kepemimpinan di tulis pada bagian pojok atas sebelah kiri manuskrip yaitu :

“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari).

Bagian atas Bagan Manuskrip Lam Jalallah

Kemudian dalam skema bagian bawah Lam Jalallah diberikan makna falsafah jabatan para pengemban tugas dalam majelis Syara yaitu Mufti al-Burhan, Wazir al-Adat, Sultan al-Amir, Imam ad Din, Qadhi al-Hakim. Lima jabatan ini adalah representasi dari tiga Majelis Sara yaitu Sara Tua, Sara Sara dan Sara Hukum.

Dalam penjelasan falsafahnya Mufti sebagai al-Burhan bermakna sebagai bukti dari Allah untuk menunjukkan suatu kebenaran. Kemudian Wazir al-Adat yang bermakna pada penjaga adat istiadat, dalam hal ini adalah kultur orang Bima yang berlandaskan kebudayaan Islam. Lalu, Sultan al-Amir bermakna sebagai pemimpin yang menaungi dan mensejahterkan, dalam kultur Bima Sultan dipanggil Hawo yang artinya tempat bernaung. Setelah itu Imam ad-Din bermakna kepala keagaman, seorang Imam dalam kesultanan mempunyai gelar Ruma Sehe yang artinya Tuan Imam. Kemudian yang terakhir adalah Qadli al-Hakim yang mempunyai makna maha adil dan bijaksana, seorang Qadli oleh orang Bima disebut Ruma Kali.

Bagan bagian tengah lima jabatan dalam majelis

Pada bagian bagan Sultan al-Amir sebelah kirinya di tulis Surat Ghafir Ayat 52 yang berbunyi :

(yaitu) hari (ketika) permintaan maaf tidak berguna bagi orang-orang zalim. Bagi mereka laknat dan tempat tinggal yang buruk.

Kelima orang pejabat tersebut mempunyai tugas masing-masing dalam mengurus segala ihwal perkara kesultanan dan rakyatnya yang tetap berpedoman pada musyawarah. Dalam skema manuskrip Saffah Jalallah, ketika bermusyawarah suatu perkara rakyat, para majelis harus berpatokan pada lima rujukan yaitu Ibarat al-Mutabirin, Qias al-Ulama, Ijma Sahabat, Hadist Rasulullah dan Dalil Kalamullah (lihat dokumen Lambila).

Pada bagian garis bagan [Musyawarah] terakhir sisi kiri diselipkan Surat Shad Ayat 26 yang berbunyi :

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Bagian bagan terakhir yang sengaja di kosongkan, yang merupakan
simbol dari Mbolo ra Dampa. 

Pada samping kanan Surat Shad, juga di selipkan Surat Ali`Imran Ayat 159 yaitu :

Allah SWT Berfirman : dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Pada samping kanan bagan [Musyawarah] juga diselipkan Surat Al-Maidah Ayat 44 yang berbunyi :

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Setelah ditemukan pencerahan perkara dalam musyawarah lalu Ruma Kali (al-Hakim) bertugas untuk menetapkan putusan yang telah di sepakati oleh majelis, output dalam skema terakhir Saffah Jalallah adalah “Ilmu untuk diamalkan bagi kemaslahatan ummat manusia yang mengakui, dalam kerukunan dan ketentraman. Dan mengutamakan rakyat dan negeri. Fastabikul Khairat, Tanha anil fahsya’ wal munkar.”


Oleh Fahrurizki

Penulis Sejarah dan Budaya



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top