Kini, sebagian dou Mbojo masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya keislaman mereka. Sementara sebagian yang lain sudah tidak perduli dengan hal itu karena dipengaruhi oleh arus globalisasi yang westernisasi yang begitu kuat. Sehingga mereka lupa dengan eksistensi budaya yang menjujung tinggi nilai keislaman tersebut. Bagi dou mbojo yang masih kental dengan keislamannya merupakan dou mbojo asli (nature) yang menjunjung tinggi budaya para leluhur mereka yang mencintai sesama manusia dan kepada tuhannya melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Karena kecintaan dou Mbojo pada nilai-nilai islam yang begitu tinggi, dibeberapa daerah (khusus Sulawesi) menyebut orang Bima sebagai orang yang bisa dipercaya (al-amin) dan orang-orang yang shaleh. Maka tidak jarang bagi dou Mbojo diberi amanah untuk menjadi imam masjid bahkan menjadi pengurus masjid karena melihat keseriusan mereka yang selalu memakmurkan masjid.
Wanita Bima yang memakai Rimpu (sumber : mbojoklopedia) |
Ada petuah atau falsafah hidup dou Mbojo yang sampai saat ini masih menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat bima. Petuah tersebut memotivasi mereka untuk berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi semua orang serta bermanfaat bagi agama. Petuah itu juga selalu menjadi nasehat pamungkas bagi dou Mbojo yang pergi merantau baik yang pergi untuk bekerja maupun yang pergi merantau untuk menuntut ilmu. Falsafah tersebut dikenal dengan istilah Maja Labo Dahu.
Maja labo dahu diartikan dengan malu dan takut. Di dalam kitab “BO” kitab kesultanan Bima maja labo dahu berarti malu untuk berbuat hal-hal yang di luar batas norma susila dan takut untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Secara sederhana falsafah ini mengisaratkan pesan untuk malu kepada manusia jika melakukan tindakan tercela dan takut terhadap balasan dari Allah atas perbuatannya. Petuah ini menunjukan eksistensi dou Mbojo yang menunjung tinggi rasa kebersamaan sesama insan (hablum minnas) dan sinergitas dengan ketundukan kepada sang al-Khalik (hablum minallah).
Istilah maja (malu) memiliki kesamaan dengan istilah siri’ dalam kultur Bugis Makassar. Siri’ juga diartikan dengan rasa malu (harga diri). Dalam tradisi Bugis-Makassar, siri' mengajarkan moralitas dan kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya sebab siri' merupakan rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Apabila siri' tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial.
Begitu pula dalam tradisi dou Mbojo, istilah maja ditrasnformasikan menjadi suatu ketakutan yang besar apabila seseorang melakukan tindakan yang tidak sopan atau tindakan yang melanggar. Sebab maja merupakan salah satu sifat manusia yang menyingkap nilai iman dan berpengaruh bagi tinggi rendahnya akhlak manusia. Layaknya sebuah tradisi, tanda orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu yang tidak patut baginya maka akan nampak diwajahnya berubah menjadi pucat dan salah tingkah, sebagai perwujudan penyesalah atas tindakan yang keliru dan salah yang dilakukan. Sifat orang demikian, menunjukan batinnya suci dan bersih sehingga dia akan menyesali perbuatan salah yang pernah dilakukannya.
Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak memiliki rasa malu atau rasa malu telah tercabut dalam dirinya, maka dia dengan enteng melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang yang mengetahuinya. Pribadi yang demikian menunjukan kasar perasaannya, keras perangainya, dan tidak perduli dengan nilai kemanusiaan serta nilai kesopanan. Pribadi seperti ini tidak boleh dimiliki oleh siapapun, sebab menjaga rasa malu merupakan akhlak yang agung dan mengangkat derajatnya dihadapan tuhan dan manusia.
Sedangkan, istilah dahu (takut) dartikan sebagai enggan melakukan sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah sesuai dengan norma agama atau tidak. Ada juga yang memaknai bahwa dahu pada hakikatnya berarti kekurangan yang bersumber dari kebodohan dan kelemahan pribadi seseorang. Dikatakan bodoh karena ia tidak mengerti akibat dari pekerjaannya. Jika ia tidak mengerti tentu ada rasa takut yang mengakibatkan terjadi keragu-raguan untuk mengerjakan sesuatu. Sementara, kelemahan ialah mendatangkan kepada yang ditakuti, yang tidak sangggup untuk menolaknya. Jadi makna dahu itu merupakan sifat terpuji jika dikaitan dengan kekurangan yang dimiliki manusia. Dahu dengan sanksi sosial jika melakukan tindakan yang melanggar norma susila dan takut dengan azab Allah (dahu di Ruma) jika melakukan hal yang dimurkainya.
Dahu di Ruma atau al-khauf minallah berbeda dengan takut kepada binatang atau takut kepada sesama manusia. Jika takut terhadap binatang buas atau musuh yang ganas maka cukup dengan menjauhi dan menghindarinya, sedangkan takut kepada Allah, justru kita harus lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Semakin kuat rasa takut kepada Allah dalam hati seseorang, maka hendaknya semakin rajin mendekatkan diri kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya) “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku” (QS. Al-Ma’idah [5] : 44). Dahu di Ruma harus memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, dapat menjaga semua ucapan dan tindakannya dari perbuatan tercela. Selain itu, Dahu di Ruma juga akan mendapatkan berbagai manfaat dan keuntungan dalam hidupnya.
Falsafah maja labo dahu merupakan sesuatu hal yang 'tabu' bagi masyarakat Bima dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Orang akan segan mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna dan takul over-aktifitas karena dinilai dengan perilaku yang tidak sopan. Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun falsafah ini harus senantiasa menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan dou Mbojo. Jika suatu generasi nantinya terjadi penafsirannya yang keliru terhadap falsafah tersebut, maka akan berdampak kesalah pahaman generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang falsafah maja labo dahu, maka tentunya akan berdampak kepada eksistensi (keberlanjutan) falsafah hidup dou Mbojo pada generasi mendatang. Inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran bagi kita semua, sehingga harus diajarkan agar ke depannya nilai budaya ini tetap bisa eksis dan menjadi ciri khas dou Mbojo yang menjunjung tinggi nilai keislamannya.
Falsafah maja labo dahu merupakan nilai budaya yang harus tetap dijaga, dipraktekan dan dilestarikan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Falsafah ini telah menjiwai dan telah menjadi pegangan hidup dou Mbojo untuk senantiasa hidup (eksis) baik di negeri sendiri atau negeri perantauan. Dou Mbojo dituntut untuk memiliki kemandirian, keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang mengaku sebagai dou Mbojo memiliki orientasi yang mampu menghadapi apa saja, karena falsafah maja labo dahu memiliki energi dan spirit yang sangat besar dalam membentuk kepribadian dou Mbojo.
Sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai budaya dengan spirit keislaman yang begitu tinggi, sudah seharusnya falsafah hidup ini menjadi hal utama dan menjadi pedoman bagi masyarakat. Serta menjadi pijakan bagi para pemegang kekuasaan di daerah dalam memberikan contoh yang baik kepada masyarakat Bima. Falsafah maja labo dahu juga mengandung pesan moral yang tinggi bagi pemegang kekuasaan, pemimpin daerah akan sangat malu jika tugas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat diabaikan begitu saja tanpa ada bukti kesejahteraan yang ditunjukan kepada masyarakat, serta takut dengan balasan dari Allah karena setiap amanah yang diberikan rakyat akan dimintai pertanggungan jawab di dunia dan diakhirat nanti. []
Oleh: Didi Haryono, S.Si. M.Si
(Akademisi & Peneliti, Tinggal di Makassar)
Terimakasih, pada penuliss sehingga bertambah referensi yg saya dapat, terkait maja labo dahu
BalasHapusTerimakasih kepada penulis
BalasHapus