ADS

Dalam dokument yang dikeluarkan oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada tanggal 21 November 1941, pada saat pemerintahan kesultanan Bima di obrak abrik oleh kepentingan pemerintah Hindia Belanda yang masuk pada era perang dunia kedua. Setelah majelis Sara kesultanan bermusyawarah, mereka bersepakat mengembalikan lagi lokalitas nilai Sara yaitu “Mori ra made na Dou Mbojo, ede kaiku Hukum Islam.” Ruma Parenta Abdullah dan Ruma Bicara Abdul Hamid setelah pembuangan mereka oleh Hindia Belanda atas laporan palsu kepala residen, memberikan inspirasi pada majelis Sara untuk bisa bangun kembali nilai yang telah lama dipisahkan yaitu nilai Islam.

Dalam kultur kepemimpinan Bima, tidak terlepas dari nilai Islam dan adat yang membentuk karakter bangsa. Karakter  merupakan  salah  satu  kunci penentu dalam keberhasilan suatu negara. Dengan adanya seseorang memiliki karakter yang baik, hal tersebut akan menimbulkan kepercayaan dari diri seseorang yang kemudian akan memunculkan tampilan seorang kepemimpinan. Seperti dalam ungkapan pepatah Bima Su’u sa wa’u sia sa wale, jalan seorang pemimpin itu bukan jalan yang mudah, pemimpin itu harus menderita, semampunya untuk membawa bangsanya pada kesejahteraan dan kedamaian.

Ilustrasi

Menurut Alan Malingi dalam menjelaskan petuah Su’u sa wa’u sia sawale adalah trust atau kepercayaan yang dipersembahkan kepada seseorang yang diyakini dapat menjalankan amanah. Dalam konteks kepemimpinan di segala strata kehidupan, Su u Sawa’u Sia Sawale adalah kepercayaan rakyat kepada pemimpin. Pemimpin harus dapat menjaga kepercayaan itu Jika pemimpin tidak lagi dapat menjalankan Su’u Sawa’u Sia Sawale, maka kepercayaan itu akan dicabut oleh pemberi kepecayaan (lihat Malingi, Petuah Tanah Bima).

Tradisi kepemimpinan Bima mempunyai karakter dan nilai filosofi masing-masing, untuk seorang Sultan karakteristik kepemimpinannya bisa dilihat pada kitab Jawharat Al-Ma`arif. Lain lagi karakteristik kepemimpinan untuk masyarakat pada umumnya yang terealisasi dalam dokument samparaja ini, mempunyai enam point yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu :

  1. Bersifat Sidik yakni kebenaran, benar perkataan, benar perbuatan dan benar perjanjian.
  2. Amanat (kepercayaan) yakni menjaga benar-benar apa yang telah dipercayakan, tidak berkhianat merusakkan kepercayaan itu.
  3. Tabligh yakni tetap menyampaikan dan menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan, tidak dapat dilengah-lengahkan atau disembunyikan lagi.
  4. Fathanah, hendaklah mempunyai kecerdikan sekadar dapat memajukan urusan dan kewajiban.
  5. Hendaklah bersifat ‘Adil yaitu apabila kejadian suatu perkara yang di urusnya, tiada memandang anak atau saudara atau yang kaya dan berpangkat dimenangkan dan yang hina miskin disalahkan, melainkan mana yang benar dibenarkan dan yang salah disalahkan.
  6. Hendaklah juga orang yang tetap mengerjakan perintah Allah melazimkan bersembahyang, puasa dan lain-lainnya dan yang tiada biasa berbuat kejahatan yang haram dan maksiat. Dan sebaik-baiknya akan dipilih mempunyai juga penghidupan yang senang dan bukan orang yang penghidupannya melarat dan kesukaran. Dan perlu juga orang yang mempunyai pengetahuan dalam perkara hukum-hukum agama Islam. Dan hendaklah dipilih orang-orang yang dari merdeka dan orang baik-baik asal usulnya.

Dokument enam kepemimpinan yang dikeluarkan oleh Sultan Bima
(koleksi museum Samaparaja)

Enam point kepemimpinan Bima ini, sebagai persyaratan dan sumpah jabatan pada saat seorang Jeneli, Bumi maupun Tureli dilantik (lihat dokument Lambila). Setiap tahunnya tetap dikeluarkan oleh Sultan Bima yaitu Muhammad Salahuddin untuk menggantikan tradisi sumpah setia minum air keris Tattarapang yang sangat konservatif. Nilai-nilai kepemimpinan diatas sangat membangun transisi intelektual dan moderat para pejabat kesultanan hingga tercipta pemerintahan yang melayani rakyat dengan sepenuh hati atau dikenal "lamada ada ta sa paju dana Mbojo" sebuah ungkapan kerja nyata pemimpin terhadap tanah Bima, untuk membawa Bima menjadi bangsa yang hebat, bangsa yang kuat dan bangsa yang sejahtera. pemimpin adalah abdi yang menaungi tanah ini dengan penuh kasih.

Menyinggung soal Nggusu Waru yang banyak di gadang sebagai nilai kepemimpinan masyarakat Bima, hingga kini asal usul dan penciptanyapun masih simpang siur, serta kandungan delapan point Nggusu Waru dalam berbagai kajian artikel, jurnal atau skripsi mempunyai perbedaan yang sangat signifikan, dan kacaunya mengaitkan dengan manuskrip yang tidak sama sekali ada hubungan, tidak final serta bukti impelemtasinya tidak jelas, jauh berbeda seperti dokument diatas.

Dilihat dari tinjauan kepustakaan, Nggusu Waru pertama kali muncul oleh seorang penulis asal Dompu yang bernama Drs. Abdul Malik M Hasan, setelah tahun kemunculan buku tersebut, akhirnya menjadi kajian berbagai lembaga dan komunitas di Bima-Dompu. Nggusu Waru adalah sebuah fantasi konsep menjaga budaya kedepannya oleh penulisnya.

Dalam kebudayaan Bima Nggusu Waru atau dalam dunia Islam dikenal dengan nama Rub al-Hizb yang di implementasikan pada ornamen makam serta masjid Sultan dan lain-lain. Nama Nggusu Waru sendiri diambil dari nama motif kain Bima yang mempunyai ornament persegi delapan. Motif tersebut sering dikenakan oleh kaum bangsawan dan para cendekiawan pada masa lampau. Motif Nggusu Waru desain delapan titik, garis perbatasan dan pinggirannya terbuat dari benang lungsin yang tidak dilapisi, tekstil tersebut ditemukan pada awal abad 20 (Hitchcock 1989 : 22)


Oleh : Fahrurizki

Penulis Sejarah & Budaya Bima



Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top