ADS

Dalam kelas sosial masyarakat Bima terbagi tiga yaitu Ruma (de-adel), Rato (middel-stand) dan Dou Maradika (pandalingen). Tiga kelas tersebut merupakan tiga kelas dalam adat istiadat genetika Dou Mbojo yang sudah ada sejak dahulu yang menempati wilayah Rasanae. Aspek ruang hidup kelas masyarakat Bima ini, hidup secara kolektif dalam tiap wilayah mereka masing-masing yang disebut “Rasa” atau kampung.

Menariknya pada kelas sosial masyarakat Bima, tidak begitu kaku untuk dikaji pada era kini, karena banyak makna dan kajian budaya dari penamaan pada kultur kelas masyarakat pada masing-masing klan keluarga atau dikenal dengan istilah “Londo Dou” tradisi silsilah yang tetap di pakai oleh orang Bima hingga sekarang.

Kelompok masyarakat Bima tahun 1925, tiga kelompok yang bisa dilihat dari penggunaan sambolo (Sumber : Tillema)

Londo Ruma (de-adel)

Penyebutan Ruma kini sangat bergeser dari makna dan arti sebenarnya, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Bima-Dompu (Mbojo), memaknai Ruma yang berarti Tuhan. Padahal itu sangat jauh dan kekeliruan ini haruslah di hilangkan. Untuk menyebut Allah dalam bahasa Bima-Dompu adalah “Ruma Ta`alla” sama halnya dengan masyarakat jawa menyebutnya Gusti Allah.

Londo Ruma dalam hirarki sosial adalah Ascribed Status. Arti Ruma itu sendiri dalam status sosial adalah Pangeran, mereka ini keturunan dari saudara-saudara sultan dan Raja Bicara. Dalam jabatan kesultanan dahulu para Ruma ini mendominasi Jabatan Tureli dan Jeneli. Mereka secara turun temurun dalam sistem monarki kesultanan tetap menempati jabatan tersebut. Pengertian Tureli adalah Menteri, para negarawan, dalam sistem pemerintahan kesultanan Tureli hanya ada tujuh sedangkan Jeneli adalah kepala wilayah atau distrik.

Para Tureli dan Jeneli ini dalam ruang keluarga mereka juga ada tradisi penyebutan atau panggilan dalam keseharian, Muma panggilan untuk orang tua, Ko’o panggilan untuk anak. Panggilan ini menjadi privilege pada kelas ini, mereka tetap dipandang dari tradisi penggunaan nama. kawin mengawin pun mereka haruslah sesama, antar sepupu atau oleh orang Bima menyebutnya Nika Angi Ndai. Dalam hal ini perkawinan inses memang rawan terjadi pada lingkaran tradisi bangsawan Bima. 

Sultan beserta Raja Bicara masuk dalam kelas sosial Ruma, namun anak mereka mempunyai panggilan tersendiri dalam lingkaran minoritas bangsawan, panggilan untuk anak mereka adalah Amakau bagi yang laki-laki dan Inakau bagi yang perempuan. Ada penyebutan khusus bagi Sultan dan Raja Bicara oleh anak mereka yaitu Ruma Siwe (Ibu) dan Ruma Mone (bapak). Pada dekade era Sultan Muhammad Salahuddin dan Raja Bicara Abdul Hamid sekitar tahun 1920, mulai masuk tradisi Indo Eropa yang dimana pemanggilan Sultan dan Raja Bicara oleh anak mereka yaitu Papi. Tradisi ini pada masa silam adalah tradisi aristrokat orang Bima, panggila Papi menjadi tren merambah pada bangsawan lainnya, hingga mulai melebur menjadi tradisi orang Bima pada kalangan keuarga kelas atas.

Londo Rato (middel-stand)

Londo rato atau keturunan bangsawan di Bima berakar dari tiga wilayah Rasanae yaitu Kampo Nae (sekarang Pane), Kampo Bara dan Kampo Saleko. Tiga kampung ini adalah genetik dari keturunan para bangsawan yang menempati status sosial kedua. Ketiga kampung ini mempunyai gelar kultural yang disebut Rato Nae, Rato Bara dan Rato Saleko.

Golongan rato terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok scholar dan kelompok konservatif. Kelompok schlar atau golongan terpelajar, mereka ini di didik turun temurun untuk memahami pola pemerintahan. Biasanya mereka di kirim ke sekolah Gowa atau dalam tradisi Bima di sebut ujung pandang dan di pulau Jawa. Setamat sekolah mereka akan menempati jabatan-jabatan penting dalam istana. Ada juga yang tidak kembali ke Bima dan membangun karir.

 Kemudian kelompok konservatif, mereka biasanya hanya hidup dalam lingkaran feodal. Jarang mau bersekolah, karena sudah terbentuk mindset pewarisan gelar dan jabatan. Mereka tidak terlalu memikirkan jabatan ata maupun rendah, yang terpenting mereka bisa mengabdi dalam istana. Para Rato ini juga mewarisi geneologi Muma, dan mereka juga yang membawa geneologi Dae (Daeng). Dalam kamus Bima yang ditulis oleh Jonker, Dae atau Daeng artinya Tuan. Di Bima pemanggilan Dae untuk bapak atau kakak.

Dalam tinjauan historis, para Rato yang mempunyai geneologi Daeng, bermula dari hubungan kawin mengawin antara bagsawan Bima yang laki-laki dan perempuan bangsawan Makassar. Tradisi kawin mengawin ini sudah di mulai sejak hegemoni Makassar abad 17. Kenapa harus dipanggil Dae bukan Ko`o atau Muma? Karena dalam tradisi bangsawan Bima, seorang ibu dari bangsawan Makassar atau disebut Karaeng akan lebih di hargai, untuk penghormatan ibu mereka, oleh sebab itu panggilan ke anak-anaknya adalah Dae dan sebaliknya oleh anaknya juga dipanggil Dae Siwe (Ibu) dan Dae Mone (bapak) untuk orang tuanya.

Dae hanyalah gelar akulturasi, yang sekarangpun berkembang menjadi tren di kalagan masyarakat. Pemanggilan Dae mulai menggeser panggilan Ama, seperti halnya tren panggilan Ayah atau Abi.

Dou Maradika (pandelingen)

Kelas sosial Dou Maradika di identifikasi sebagai kelas masyarakat Bima pada umumnya, istilah ini pertama kali di tetapkan sebagai status sosial digunakan pada era Sultan Abdul Hamid. Namun jauh sebelumnya pada akhir abad 17, istilah Dou Maradika diberikan kepada orang Tobelo dan Melayu yang turut membantu Sultan Abdul Khair Sirajuddin dalam peperangan, mereka datang di Bima menempati daerah pesisir sekitaran teluk Bima. Maradika di ambil dari bahasa portugis “Mardica” yang artinya merdeka atau bebas. Pada era Sultan Abdul Hamid, banyak golongan Dou Maradika dari budak Manggarai dan Sumba, mereka di bebaskan atau ditebus oleh para Rato untuk bekerja sama mengolah tanah dan hasilnya akan di bagi.

Dou Maradika terbagi dalam dua kelompok, Dou Donggo dan Paranaka. Mereka hidup berbaur satu sama lain pada ruang Kebudayaan Bima. Dou Donggo adalah masyarakat pribumi yang sudah menempati daerah pegunungan. Mereka masih menggunakan bahasa Bima “Nggahi Mantoi” sebagai bahasa leluhur mereka seperti Tarlawi, Kuta dan Sambori yang hingga kini masih menggunakan bahasa tersebut.

Warisan panggilan Geneologi mereka yang paling khas adalah Ama untuk bapak dan Wa`i untuk ibu. Dalam tradisi orang pegunungan Bima, Nama Ama dan Wa`i akan dilekatkan nama cucu laki-laki pertama mereka, seperti tradisi masyarakat Tarlawi yang melekatkan nama cucu mereka pada nama panggilan seperti contohnya Wa`i Kurai yang dimana Kurais adalah nama cucu laki-laki pertamanya.

Sedangkan Dou Maradika dalam kelompok Paranaka, mereka sudah membaur dan kawin menggawin. Mereka ini menempati wilayah daratan, mulai dari pesisir hingga pelosok. Warisan panggilan geneologi mereka juga variatif, mulai dari Aba, Uba, Pua, Ince, Teta hingga Baba. Paranaka artinya adalah peranakan, mereka ini berasal dari berbagai wilayah di luar Bima, seperti Arab, Tionghoa, Melayu, Tobelo, Manggarai dan Bugis-Makassar.

Pada masa lampau, kelas Maradika jika mereka mengabdi atau bekerja di istana akan menempati jabatan Lebe, Dari dan Bumi. Kadang juga Jeneli, jabatan ini bukan jabatan warisan, mereka bisa bergantian di utus kelompoknya masing-masing, tergantung kesepakatan Dou Matua yang mempunyai andil dalam jabatan “Patarasa”.


Oleh : Fahrurizki

Penulis Sejarah dan Budaya



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top