Membaca Jejak Dompu pada masa silam, juga menggali kembali potensi alamnya dan sejarah politik. Kesultanan Dompu salah satu kesultanan yang mempunyai sejarah yang menarik dibalik minimnya heuristik atau bibliotek. Serpihan sejarah Dompu bisa dilihat dari lembaran-lembaran Bo Sangaji Kai (manuskrip Bima), Daghregister dan termasuk catatan ini yang di rangkum dalam buku panduan landskap etnologi Handleiding bij de beoefening der land en volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie di tulis oleh JJ Hollander. Dalam buku ini Hollander menulis :
Dompu menempati sebagian besar wilayah barat semenanjung timur. Berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat di sebelah timur Bima, yang dibatasi oleh garis lintang dari 118°37′ di pantai utara melintasi gunung Wo Sahe sampai 118°38′ di pantai selatan dan di selatan Laut Hindia. Bagian barat daya semenanjung pulau yang memanjang ke arah barat laut, yang sebelumnya merupakan wilayah Kerajaan Tambora dan Papekat, merupakan wilayah Dompu, sehingga batas wilayahnya mulai dari muara Sungai Nangamiro melintasi semenanjung ke arah tenggara sampai ke pedalaman Kilo dan selanjutnya ke Sungai Kambo yang merupakan batas wilayah Dompu dengan Sanggar di sisi timur dan di sisi barat.(Hollander 1898:302)
![]() |
Pejabat Kesultanan Dompu tahun 1950 (Wikimedia) |
Letak kesultanan Dompu sangat strategis, berada di tengah-tengah pulau Sumbawa. Secara geopolitik, Dompu mempunyai keuntungan pertanian dan kekurangannya tidak mempunyai port atau pelabuhan dagang yang menunjang karena letak pusat Dompu dahulu jauh dari pesisir. Namun wilayah Dompu sangat subur ditambah paska Tambora meletus semakin membuat tanahnya subur.
Sistem pemerintahan kesultanan Dompu juga menganut sistem “Bicarakai” sama seperti tetangganya kesultanan Bima dan Sanggar. Dimana roda pemerintahan bukan hanya dikepalai oleh Sultan namun juga ada seorang wakil sultan yaitu Raja Bicara. Dalam catatannya Hollander menjelaskan struktur dari pemerintahan kesultanan Dompu sebagai berikut :
Pemerintahan dipegang oleh dewan kesultanan, yang terdiri dari Sultan, dibantu oleh Raja Bicara atau Gubernur Negara Bagian dan beberapa Adipati Agung, yang terpenting di antaranya bergelar Syabandar atau Jeneli dan Bumi. Pemilihan Sultan baru juga bergantung pada mereka, yang bagaimanapun, biasanya ditentukan oleh putra tertua atau hubungan darah terdekat dari pendahulunya. Kemudian ada Mantri, Kepala Distrik dengan berbagai gelar, dan terakhir Glarang atau Kepala Desa. Pangeran memiliki sejumlah pendapatan dari pajak, hadiah wajib, dan upeti dari rakyat, namun hasilnya hanya sedikit dan harus memenuhi kebutuhannya sendiri dari harta miliknya.
Pada tahun 1669, Dompu bergabung dengan aliansi dengan Perusahaan Hindia Timur dan secara umum mematuhinya dengan setia. Pada tahun 1886 kontrak dengan Sultan saat ini diperbarui. Pemerintah tidak mempunyai perwakilan di sana. Yurisdiksi pada mulanya dijalankan oleh Kepala Desa, kemudian oleh Kepala Distrik, dan apabila Kepala Distrik tidak dapat memutus perkara, maka diserahkan kepada Bumi Luma (hakim fiskal), yang terhadap keputusannya masih dapat diajukan banding ke dewan kesultanan yang disebutkan di atas. Hukuman yang diberikan sebagian besar berupa denda, hanya dalam beberapa kasus hukuman mati diterapkan.(Hollander 1898:302)
Pada pertengahan abad 19 masehi, kesultanan Dompu mengalami perang sepanjang tahun akibat perebutan wilayah dengan kerajaan tetangga. Hal ini yang juga membuat perekonomian kesultanan Dompu sulit berkembang, akibat biaya perang. Perang tahun 1855 kesultanan Dompu melawan seorang penguasa daerah Tompo bernama Daeng Manrangka datang ke Tambora berkeinginan membangun kembali kerajaan tersebut, Daeng Manrangka mengaku bahwa dirinya merupakan keponakan dari Raja terakhir Tambora yang ditugasi untuk menempati wilayah Kadinding dan kampung Tompo, tapi itu di halangi oleh berbagai pihak yang tinggal di wilayah itu karena Tompo merupakan tanah sengketa antara Kerajaan Tambora dan Kesultanan Dompu.
Dahulunya pusat kesultanan Dompu terletak di bagian timur wilayah Kareke. Letak istana juga disitu seperti yang dijelaskan oleh Hollander sebagai berikut :
Kota utama Dompu terletak di tengah negara ini di dataran sebelah barat Gunung Wo Sahe di sungai yang cukup penting, yang berhulu di gunung Aru hasa atau gunung Dindi dan mengalir ke teluk cempi. Ini adalah negeri yang cukup besar dengan sekitar 1900 penduduk. Namun, Sultan tinggal di Bada, terletak di sebelah barat Dompu. Tempat-tempat lainnya kecil dan sedikit jumlahnya, yang utama adalah Ranggo, selatan Dompu Kowangko, di teluk dengan nama yang sama. Bango, sebelah barat Dompu, di sungai Lanci, yang mengalir ke teluk Sanggar. Gempo (kempo), lebih jauh ke barat laut di teluk dengan nama yang sama; Tompo, sedikit lebih jauh ke utara di teluk Sumbawa dan Kilo, di pantai utara di Sanggar. Zolinger juga menyebutkan Rumu,Hu`u, Rodi, Daha, Matua, Sano atau Saneo dan Katua. Semua tempat ini terhubung satu sama lain dengan cara tertentu.(Hollander 1898:303)
Dompu bagian barat kampung Matro atau wilayah Magenda, paska meletusnya gunung Tambora di datangkan transmigrasi orang-orang Bima untuk membuka lahan dan mengolah pertanian hingga kini mereka mendiami bagian barat Dompu. Juga abad 19 kesultanan Dompu menghasilkan beras yang cukup banyak dan menjadi lumbung padi untuk wilayah timur.
Jumlah penduduknya sangat fanatik dan diperkirakan oleh Zollinger sebanyak 3.000 jiwa tetapi dalam Kamus Geografis sebanyak 6.000 jiwa, sangat mirip dengan Bima, yang tentang kerajaan itu akan dibahas lebih lanjut, beberapa orang Arab tinggal bersamanya. Negeri ini memiliki banyak kuda dan kerbau, dan juga sangat kaya akan rusa, sehingga banyak sekali perburuan yang dilakukan, terutama oleh Sultan dan para Adipati Agung, yang selalu disertai sebagian rakyat, dengan cara kerja paksa.
Meskipun tanahnya cukup subur, hanya sedikit pertanian yang dilakukan. Beras merupakan satu-satunya produk penting, yang sebagian juga diekspor. Hutan kayu sapan dan hutan jati ada, namun tidak dieksploitasi karena jumlah populasinya sedikit. Karena Dompoe tidak memiliki pos perdagangan di pesisir, barang dagangan dibawa melalui darat ke Bima dan Soembawa dan dipertukarkan di sana. Uang langka atau tidak ada di Dompu. Barang ekspornya adalah beras, kopi, kuda, kerbau, kambing, daging kering, kulit dan lilin. Yang impornya sama dengan di Sumbawa. Industri ini berada pada tingkat rendah dan terbatas pada produksi linen kasar, pot tanah liat dan beberapa senjata. Pulau di Dompu meliputi pulau Kawangko, pulau pudu, pulau Sora dan Satonda.(Hollander 1898:303)
Tahun 1868 hingga 1871 peningkatan perekonomian kesultanan Dompu berkembang karena penjualan kayu Sapan. Pada bulan Agustus 1871, sejumlah 3.600 pikol kayu sapan yang dipasok oleh pangeran Bima, Sumbawa dan Dompu dijual di Batavia, yang hasil bersihnya berjumlah f 10.735 (Verslag 1871 : 71).
Oleh Fahrurizki
Penulis Sejarah
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar