Bima pada abad 17 masehi memasuki ambang kejayaan politik dimana representsi Bima kala itu adalah seorang I’ambela begitu nama Sultan Abdul Khair Sirajudin (1635-1681) di kenal di pentas politik dan militer Sulawesi. I’ambela adalah Sultan kedua kesultanan Bima yang menggantikan ayahnya Sultan Abdul Kahir Ma Bata Wadu (1621-1640), dia, juga merupakan seorang Laksamana muda kerajaan Gowa yang sangat dikenal. Dalam masa kekuasaannya di Kesultanan Bima sangat terkenal akan nilai luhur keagamaan yang berkembang di tanah Bima. Ruang keagamaan Bima kala itu di isi oleh para ulama-ulama melayu Gowa yang hijrah karena tidak sepakat dengan pejanjian Bungaya bersama Admiral Cornelius Spellman.
Rombongan kaum melayu dan pengungsi dari Gowa atau Makassar yang masuk di Bima tahun 1670, dengan jumlah yang sangat banyak hingga VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memerlukan 5.000 hingga 6.000 pasukan untuk memburu dan menghukum para pengungsi yang terdiri dari kaum melayu, bangsawan Gowa dan tokoh agama (dibahas lebih lanjut paragraf berikutnya). Di Bima para tokoh agama ini mengembangkan ajaran Islam, mereka oleh orang Bima dikenal dengan gelar Sehe Gowa. Hubungan masyarakat tanah Bima bersama orang Makassar bisa dibilang sangat baik atau serumpun, selain karena jasanya dalam memberikan bantuan militer untuk melawan Raja Salisi dan terlahirnya Kesultanan Bima pada tahun 1640 masehi.
Ilustrasi perang trunojoyo, dimana para karaeng Gowa dan Sultan Bima juga ikut membantu Trunojoyo (wikipedia). |
Untuk menyambung kekerabatan Bima-Gowa atas jasanya terhadap Kesultanan Bima, Ibunda Sultan Abdul Khair Sirajudin yaitu Daeng Sikontu mengawinkan anaknya dengan putri kerajaan Gowa yang bernama Karaeng Bonto Jene adik kandung Sultan Hasanuddin, mereka menikah pada tanggal 13 April 1646 pernikahan berlangsung di Gowa. Bukan hanya hubungan kekerabatan yang di ikat dengan pernikahan, saling membantu dalam berbagai hal politik dan peperangan, nama kesultanan Bima tetap dijumpai dalam berbagai catatan abad 17 masehi, seperti Syair Perang Makassar yang ditulis oleh Enci Enim.
Kerajaan Gowa kembali di landa perang tahun 1666 melawan VOC yang di pimpin oleh Admiral Cornelius Spellman bersama Arung Palakka, pasukan VOC menggempur Somba Opu sebagai Ibukota Kesultanan Gowa dan Benteng Panakukang. Sultan Abdul Khair Sirajudin kembali mengirim bantuan militer, namun kemenangan belum berpihak, benteng Somba Opu berhasil di kuasai oleh VOC.
Kemudian pada tahun yang sama (1666) meletus pertempuran Somba Opu II yang dimana Sultan Hasanuddin kembali melawan pasukan VOC dan sekutunya, dari Batavia, VOC mengirim kekuatan militernya menuju Sulawesi yang di pimpin oleh Admiral Cornelius Spellman dan Kapten Jonker. Armada Spellman terdiri dari 21 kapal perang, 600 personil serdadu VOC, dan di bantu oleh Kerajaan-kerajaan taklukkan kerajaan Gowa yang ingin merdeka, seperti 400 personil serdadu kerajaan Bone yang dipimpin oleh Aru Palakka dan kerajaan Buton untuk menggempur Kesultanan Gowa. Sebelumnya Sultan Hasanuddin mengirim 20.000 pasukan dibawah pimpinan Karaeng Bontorannu, Karaeng Galesong, raja Luhu dan sultan Bima dengan 700 perahu ke Buton untuk menghukum kerajaan tersebut, karena memberi tempat tinggal kepada Aru Palakka sebagai salah seorang buronan dari Gowa, beruntungnya Buton dapat dilindungi oleh armada Spellman.
Kondisi perang semakin membuat Gowa terjepit, Sultan Hasanuddin dan di bantu oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu membangun kembali Benteng Panakukan sepanjang pantai utara Ujung Pandang yang telah di hancurkan oleh VOC waktu perang Somba Opu I. Di Bima, mendengar peperangan akan terjadi lagi, Sultan Abdul khair Sirajudin kembali bergabung bersama iparnya Sultan Hasanuddin, juga dalam waktu yang bersamaan kala itu Kesultanan Bima sedang membantu perang Kerajaan Mandar.
Dalam pertempuran Somba Opu II ini kerajaan Gowa mengalami kekalahan besar-besaran dikarenakan VOC banyak di bantu oleh kerajaan-kerajaan yang ingin melepas diri dari hegemoni kerajaan Gowa. Dalam sebagian catatan sejarah bahwa kekalahan tersebut di menangkan oleh Aru Palaka, dan Sulawesi Selatan jatuh di tangan Cornelius Spellman. Lalu pada tanggal 18 November 1667 perjanjian Bungaya dibuat.
Eksodus Paska Bungaya
VOC merasa resah diakibatkan oleh banyaknya pengungsi Makassar yang melintasi pulau Sumbawa, VOC merasa pengungsi tersebut akan menambah jumlah pasukan Sultan Bima untuk melawan mereka. Dan keresahan itupun terjadi, banyak pasukan Makassar dan Bima tetap melakukan perlawanan. Untuk mengeluarkan para pengungsi dari Bima, VOC membutuhkan sedikitnya 5.000 hingga 6.000 tentara Bugis dari Arung Palakka. Pada tanggal 2 Juni 1675 Arung Palakka muncul di Benteng Rotterdam untuk merencanakan dan mengatur kapal dan orangnya menuju kesana (pulau Sumbawa), mulai dari sini intervensi Aru Palakka di Bima. Sebelumnya dia menjelaskan, ekspedisi tersebut tidak bisa berlayar dari Sulawesi sebelum Agustus atau September karena angin Monsun (Andaya 1981 : 163).
Pada bulan Juni dan Juli, terjadi angin kencang di arah tenggara yang membuat pelayaran apa pun di perairan tersebut berbahaya. Ekspedisi tersebut kemudian harus meninggalkan Sumbawa sebelum hujan badai lebat dan angin kencang mulai terjadi pada bulan Desember atau Januari. Penundaan apa pun akan memaksa ekspedisi untuk menunda hingga Februari atau awal Maret sebelum mencoba melakukan perjalanan pulang. Lebih lanjut ia menyarankan, jika pengungsi Makassar tidak ditemukan di pulau Sumbawa, maka ekspedisi boleh dilanjutkan, bahkan sampai ke pantai Jawa, sampai mereka ditemukan dan dimusnahkan (Andaya 1981 : 163).
Mendengar isi dari perjanjian Bungaya, Karaeng Bontomarannu dan Sultan Abdul Khair Sirajuddin beserta pasukan mereka mengungsi ke Bima, di ikuti oleh Syekh Jalaluddin al-Aidid beserta pengikutnya. Pertarungan antara Arung Palakka dengan Sultan Bima kembali terjadi tahun 1695 (Deutz 1783 : 85). Namun pertarungan tersebut lebih ke pertarungan politik. Campur tangan aru Palakka pada peristiwa pembunuhan Daeng Mami istri Sultan Dompu sangat terlihat, mulai dari desakan politik Aru Palakka kepada VOC untuk menghukum Sultan Bima. Ratu Dompu telah dibunuh, Sultan Bima yaitu Sultan Djamaluddin dituduh melakukan hal ini, dan diasingkan ke Batavia karena hukuman tersebut. Oleh karena itu Raja Palakka menjadi marah dan mengerahkan beberapa pasukan. Tulis G Lauts dalam Geschiedenis van de Vestiging, Uitbreiding, Bloei en Verval van de Magt der Nederlanders in Indie.
Dari sini kita bisa melihat Intervensi aru Palakka pada situasi politik pulau Sumbawa saat itu adalah untuk mengadu domba para Karaeng (pengungsi) dan bangsawan Bima, bisa dikatakan sebagai dendam. Juga sejak peristiwa kekalahan Bone tahun1644 hingga Aru Palakka menjadi buronan kerajaan Gowa dan Sultan Bima dipercaya untuk mengejar Palakka hingga peristiwa perang Buton. Kerajaan Bone ingin menunjukkan diri sebagai penguasa yang baru di Sulawesi setelah Cornelius Spellman menaklukkan kerajaan Gowa.
Oleh : Fahrurizki
Penulis Sejarah dan Budaya Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar