Membahas mengenai sejarah masuknya Tarekat di Bima, tentu bukanlah suatu perkara yang sederhana untuk di jabarkan, karena terdapat berbagai tantangan antara refrensi dan sejarah kehadirannya serta perkembangan awal Tarekat di dalamnya. Ada dua tahapan awal masuknya Tarekat di Bima pada pertengahan abad ke-17 masehi. Tahap pertama, datangnya Tarekat-tarekat di Bima di mulai paska perang Bungaya oleh murid-murid Syekh Jalaluddin al-Aidid yang lebih dikenal dengan “kaum melayu.” Tahapan pertama dimulainya ritus dan praktik kaum tarekat yang berakulturasi kedalam kebudayaan Bima seperti Hanta Ua Pua (maulid), kemudian gelar agama para Sultan Bima yaitu Zillulah fil` alam. Dimana konsep zilullah fil `alam itu adalah sebagai pengemban amanah pelaksanaan keadilan Ilahi untuk mensyiarkan agama dan syariat-Nya, sejajar dengan peranan sebagai khalifah Allah di dunia ini.
Tahap kedua dipelopori gerakan Tarekat perlawanan yang berhubungan dengan Syekh Yusuf al-Makasari bersama Sultan Bima dimulai dari Sultan Nuruddin dan Sultan Djamaluddin, Syekh Yusuf dengan gerakan Khalwatiyahnya masuk di Bima juga membuka pintu awal kehadiran tarekat-tarekat lain pada akhir abad 17. Para Syekh atau Mursyid tarekat khalwatiyah ini dikenal dengan gelar “Sehe Gowa” dikalangan masyarakat Bima. Geneologi ajaran Khalwatiyah di Bima juga mengangkat para murid-murid (salik) di Bima yang bergelar “Tuan ri Dima” (lihat Syekh Yusuf Makassar : Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang).
Seperti diketahui bahwa pada pertengahan Abad 17 di Kerjaan Gowa, terjadi banyak kekacauan dan peperangan, sehingga penduduk dan ulama melayu di negeri tersebut memilih berlayar ke daerah yang dianggap lebih aman dan kondusif, yakni di Pulau Sumbawa. Ketika berada di daerah tersebut, beberapa dari mereka melakukan hubungan kawin mengawin dengan penduduk lokal. Lambat laun dari proses ini, muncullah genetik baru ulama atau Sehe di daerah pesisir Bima seperti Sape dan Sila.
Bukan hanya kaum tarekat yang memberikan pengaruh pada penyebaran Islam di pulau Sumbawa, juga para pedagang, di antaranya para pedagang Arab, Gujarat atau Persia yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya. Seperti yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim al-Baghdadi yang datang dari persia (sekarang Irak dan Iran), menyebarkan Islam sambil berdagang tembakau. Berdagang adalah kamuflase para syekh tersebut untuk dapat masuk dalam tatanan masyarakat lokal. Karena pada awal abad 17 di pulau Sumbawa ada dua kelompok kepentingan yang membawa pengaruh politik pada perdagangan yaitu para pedagang arab antara kelompok arab Syekh (pendakwah) dan kelompok arab Khoja (pedagang arab murni).
Tarekat dan Politik Perdagangan
Pengaruh kaum melayu atau tarekat terbagi menjadi dua wilayah pesisir, Sila dan Ule, terbaginya dua wilayah kekuasaan ini dimulai saat wafatnya Syekh Jajaluddin al-Aidit yang ditusuk oleh seseorang. Penusukan syekh jalaluddin ini tidak terjadi begitu saja, karena dalam anailisa penulis itu terjadi dilatari datangnya para ipar sultan Bima yaitu karaeng- karaeng makassar mengobok-obok perdagangan kayu Supa, hingga jaringan perdaganagan Khoja dan VOC terganggu. Tahun 1680-an ada dua Khoja arab yang berpengaruh pada perdagangan kayu Supa di pulau Sumbawa, Khoja Rebu dan Khoja Darwis (lihat Dagh-register gehouden int casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India, 1902).
Para Khoja ini tidak diberikan keistimewaan dalam kesultanan, karena di istana yang lebih berpengaruh adalah para arab Syekh, seperti Syekh Umar Bamahsun seorang peranakan arab yang datang dari Banten. Ajaran tarekat dari Banten yang masuk ke Bima adalah Qadariyah, mempunyai hubungan erat dengan Khalwatiyah saat itu, hingga Syekh Yusuf al-Makassari menggabungkan kedua ajaran tersebut menjadi Khalwatiyah Qadariyah. Para Khoja tidak banyak diberi ruang oleh kesultanan Bima, hingga intrik-intrik kelicikan juga di ambil oleh para khoja ini untuk menyaingi para Karaeng yang juga ikut berdagang kayu Supa (lihat William Cummings, Penciptaan Sejarah Makassar di Awal Era Modern).
Pada lain pihak, di antara para Khoja juga mempunyai persaingan tersendiri, saling menghasut para penguasa hingga suap menyuap dilakukan demi melancarkan tujuan perdagangan mereka (Rijks geschiedkundige publicatiƫn: Grote serie, Volume 134). Persaingan perdagangan arab Khoja Rebu dan Khoja Darwis untuk mendapatkan ijin dan menguasai perdagangan kayu Supa terhambat oleh gerakan-gerakan arab Syekh yang menentang kontrak dengan VOC bekerja sama dengan para khoja. Konspirasi mulai terjadi antara pihak VOC dengan Khoja, dimulai terbunuhnya Syekh Jalaluddin al-Aidid tahun 1693, dibunuh dengan tombak oleh orang suruhan.
Pengaruh ajaran Syekh Jalaluddin al-Aidid (Bahrun al-Nur) dan tarekat Khalwatiyah sangat kuat di Bima pada tahun 1680 hingga 1697 akhir abad 17 masehi. Pada era Sultan Djamaluddin kontrak panjang yang dilakukan dengan VOC hampir semuanya tidak pernah disetujui oleh Sultan. VOC mengalami kerumitan perdagangan kayu supa dan lain. Mau tidak mau untuk memperlancar perdagangan pihak VOC harus mencari cara untuk mengatasinya. Konspirasi plitik mulai dimainkan, sekutu dari VOC tidak lain adalah para Khoja yang juga mengalami nasib sama. Tahun 1697 sultan Djalamuddin di tuduh oleh pihak kesultanan Dompu membunuh istri sultan Dompu yaitu Daeng Ante yang tidak lain adalah bibi dari Sultan Bima itu sendiri. Sultan Djamaluddin dibawa ke Makassar untuk di adili, setelah ditetapkan bersalah kemudian dibawa ke Batavia. Peristiwa sultan Djamaluddin adalah konspirasi politik terbesar yang pernah terjadi di Batavia.
Rencana VOC sultan akan di kirim ke pengasingan Cape Town bersama Raja Tambora abdul Basyir yang juga dituduh terlibat pembunuhan Ratu Dompu (lihat naskah BSK). Namun karena kondisi sultan Djamaluddin yang sering sakit , akhirnya beliau di tahan di Batavia hingga akhir hayatnya.
Pergerakan para Salik atau murid tarekat dalam upaya islamisasi tanah Bima, dimulai akhir abad 16 masehi. Setelah kekalahan kerajaan Gowa pada VOC, para salik ini menyebar keberbagai wilayah timur, terutama Bima sebagai benteng terakhir perlawanan. Para murid ini membawa berbagai kebudayaan Islam dalam kehidupan masyarakat. Oleh masyarakat Bima memanggil mereka dengan panggilan “Sehe Gowa” yang berarti para syekh atau guru dari Gowa (sulawesi). Setelah para tokoh dan sultan yang berpengaruh diasingkan semua, seperti Syekh Yusuf al-Makassari, Raja Tambora dan Sultan Bima Djamaluddin. Muncul gerakan-gerakan baru yaitu gerakan pemurnian tarekat oleh para murid. Gerakan perlawanan ini terus didengungkan secara masif melalui agama dan budaya.
Oleh : Fahrurizki
Penulis Sejarah dan Budaya Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar