ADS

Setelah di antar oleh Ringgo salah satu panitia Festival Sangiang Api 2025 di dermaga tempat titik kumpul peserta. Pagi itu (Rabu 30/7/2025) di dermaga Desa Sangiang ada sedikit kekecewaan dan kepasrahan, karena rombongan kami ketinggalan kapal trip FSA 2025 yang akan trip ke pulau Sangiang pada pukul 7:30 Wita, jumlah orang dalam rombongan ada enam orang yang tertinggal. Kepasrahan kami tidak begitu lama, akhirnya ada jalan keluar untuk menuju pulau dan mengejar rombongan peserta trip. Bukan masyarakat Wera namanya jika tidak menolong, kemudian rombongan kami disuruh naik Monto yang kebetulan juga membawa material ke pulau.

Menyentil mengenai Dou Wera yang suka tolong menolong, dalam catatan besar sejarah Bima, saat terjadinya perang saudara tahun 1620 masehi, putra mahkota Ma Bata Wadu akan dibunuh oleh pamannya Salisi, mereka dikejar hingga Wera, rombongan putra mahkota tersebut di tolong oleh Dou Wera, diselamatkan dan dibawa menuju kapal yang ke Gowa (Makassar). Atas jasa mereka Dou Wera di berikan hak istimewa yaitu bebas pajak oleh Putra Mahkota yang kemudian menjadi Sultan Bima pertama Abdul Kahir.

Setelah rombongan kami yang ketinggalan telah naik diatas Monto sebutan orang Sangiang untuk kapal, cuaca sangat cerah dan angin cukup berhembus dengan kencang, melihat arus laut flores tampak begitu menegangkan, namun para kapten kapal orang Sangiang sangat mahir dalam mengendalikan kapal, sebab mereka sudah dilatih sejak kecil. Ombak rajin memercikkan air laut pada kami, tampak pulau sangiang menunggu dari kejauhan. Sekitar kurang lebih 1 jam perjalanan mengarungi laut, akhirnya kami sampai juga di pulau.

Pemukiman di Pulau Sangiang Api

Memang tidak bisa dipisahkan Sangiang dan mistis, keduanya sudah menjadi simbol masyarakat pesisir. Begitu menginjakkan kaki di tanah tua Sangiang setelah menempuh penyebrangan kurang lebih satu jam, sebelum melihat langsung perlombaan perahu layar dimulai, saya menyempatkan diri untuk berkeliling kampung lama pulau Sangiang. Terdapat satu sumur air tawar yang sering digunakan beberapa keluarga di pulau untuk Kebutuhan Hidup mereka. Pemindahan terakhir masyarakat Sangiang ke daratan yang mereka tempati sekarang pada tahun 1985, saat letusan terbesar yang mengubah kehidupan orang Sangiang hingga kini.

Ada beberapa masyarakat yang menetap di pulau adalah mereka yang mengelola lahan keluarga atau disebut Kanggihi. Terdapat sekitar 40 bangunan gubuk, kebanyakan yang menempatai gubuk adalah kaum lansia yang menghabiskan masa tuanya di pulau. Para lansia ini biasa dipanggil Wa’i sebuah pangilan kultural untuk menghormati perempuan sepuh. Mereka bercerita dahulu sejak masih remaja dan masih tinggal di pulau, jika keluar rumah pada malam hari, mereka sering ditakuti oleh orang tuanya dengan Dou Belo yaitu sebutan orang Sangiang untuk bajak laut. Jangan keluar rumah nanti kamu akan diculikoleh Dou Belo, kisah salah satu Wa’i yang tinggal di pulau.

Dahulu di tengah pemukiman Sangiang ada namanya Wadu Sandaka, yang kemarin oleh bang Ayang salah satu tokoh masyarakat desa Sangiang, mengisahkan pada saya, dimana dahulu Wadu Sandaka adalah batu sakral bagi orang Sangiang, mereka percaya batu tersebut adalah pusaran magis pulau, batu yang menjaga pulau dari orang yang berniat jahat. Dahulu Wadu Sandaka mempunyai kain penutup, dimana para sultan Bima mempunyai kewajiban untuk mengganti kain penutup bila telah usang, kisah bang Ayang.

Jam dua siang angin utara mulai tiup dengan kencangnya, kemudian rombongan trip disuguhi perahu layar yang mulai dilepas untuk perlombaan, sebelum mulai, para peserta lomba atau crew dari masing-masing perahu layar, saling bercanda satu sama lain duduk melingkar ditepi pantai Toro la Joro, sembari meneguk kopi yang dibuat dengan ala kadarnya. Perahu mulai dilepas, para tim bersiap melepaskan layar dan bersiap menunggu aba-aba dari panitia. Layar mulai dikibarkan dan aba-aba sirine mulai dibunyikan lalu perahu mulai mengarungi derasnya arus laut flores.

Perahu sedang bersiap-siap untuk star


Setelah menyaksikan perlombaan perahu layar, rombongan trip FSA 2025 menuju ke destinasi Oi Peto, yang akan menjadi titik perkemahan. Dari perkampungan lama sangiang menuju Oi Peto kurang lebih memakan waktu perjalanan dua jam, berlayar di pinggir Sangiang memberikan kesan yang sangat mistis bagi saya, mungkin karena terlalu banyak mendengarkan cerita sihir Sangiang. Pemandangan indah jalur lahar dingin di So Malasa sepanjang garis pantai, sungguh sangat eksotik, pasir besi hitam mengkilau membuat pantai sepanjang perjalanan semakin menakjubkan. Diatas puncak gunung Sangiang masih mengeluarkan asap, awan mengelilingi puncaknya seakan menaungi Sangiang untuk beristirahat.

Setelah memasuki So Kalo, sepanjang pantai terdapat aktifitas pemanah ikan, ada sepuluh orang pemanah di sepanjang pantai. Air laut yang bening dan biru membantu para pemanah bisa melihat ikan. Dari kabar panitia trip, bahwa para pemanah ikan yang rombongan jumpai tadi adalah orang-orang dari pulau sebelah seperti Flores atau Pulo. Mereka sudah biasa datang ke wilayah So Kalo Sangiang untuk memanah ikan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya rombongan trip sampai ke Oi Peto, sinyal handphone tidak terjangkau di spot ini. Turun dari Monto, kami langsung mencari tempat camping di samping sungai kecil Oi Peto yang mengalir dari atas gunung. Tempat yang sangat menakjubkan dengan persediaan air tawar yang melimpah. Saat kami sampai tadi di jumpai ada tiga kapal nelayan dari Maluku yang mengisi kebutuhan air bersih kapal mereka. Karena sejak dulu Oi Peto menjadi titik tempat kapal-kapal nelayan istirahat sambil mengisi air. Di pantai Oi Peto terdapat satu kuburan, dikatakan kuburan tersebut adalah kuburan para pelaut.

View So Kalo

Pantai Oi Peto

Parafu Oi Peto, mata air yang terus mengalir

Setelah tenda didirikan rombongan saya yang terdiri dari Om Chupenk alias Fadly, kang Ery, Rafly, Rimawan dan Dava. Beristirahat sejenak sembari menemani Rimawan dan Dava memasak, karena perjalanan tadi terombang ambing membuat perut lapar. Pukul lima sore di arah timur karang Oi Peto mulai berubah warna menjadi merah, para peserta mulai menceburkan diri di pantai yang air lautnya sangat bening, uniknya dipantai Oi Peto, pasir di dasarnya sangat hangat, semakin malam pasirnya tambah menghangati telapak kaki. Setelah mandi panitia trip FSA menyuguhkan ikan rebus hasil dari para pemanah ikan, pengalaman yang sangat indah untuk menutup hari pertama kami di pulau Sangiang. Karena esok katanya akan banyak spot yang akan di eksplore di Oi Peto.

Kilauan cahaya merah sang fajar di ufuk timur memberikan keindahan spiritual pada subuh, burung walet mulai bermain pada pagi yang indah di samping sungai Oi Peto, sejenak peserta diajak ikut serta melakukan transplantasi karang salah satu agenda trip untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang, setelah sarapan rombongan diajak untuk menjelajah di air terjun diatas. Perjalanan hanya sekitar 30 menitan sampai diatas, setelah sampai di air terjun, keindahan hutan tropis ala Sangiang sungguh sangat mempesona, mata air yang sungguh indah. Parafu Oi Peto sungguh sangat cantik, airnya keluar diantara bebatuan dan akar pohon hingga tampak seperti sebuah tirta alam yang suci, memberikan kehidupan pada vegetasi hutan Sangiang. Air terjun Oi Peto hanya setinggi sekitar tiga meter, tidak begitu deras tapi sangat cukup menarik untuk menjadi tempat santai menikmati alam. Sangiang memberikan pengalaman mistis dan spiritual bagi saya.


Oleh Fahrurizki



Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top