Untuk menghitung hari baik dan buruk sama halnya orang Bugis dengan sure’ panessai esso dan Jawa dengan primbon, begitupun orang Bima juga memiliki naskah untuk menentukan hari baik dalam menjalankan hari-hari dan mengetahui pancaroba permusim. Naskah Naga Perang merupakan salah satu catatan dari kajian tua manuskrip peninggalan leluhur orang Bima atau juga di sebut Fituha. Ilmu Bima atau Fituha terdahulu sangat cukup tinggi nilainya dalam menentukan relasi kehidupan orang Bima dengan alam.
Naskah Naga Perang adalah kitab warisan leluhur Bima yang ditulis abad 19 masehi yang berorientasi pada kehidupan manusia dan alam semesta. Naskah Naga Perang berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan sikap dalam suatu tindakan dalam kehidupan seperti penentuan hari baik dan buruk, apa yang harus dimakan saat musim kemarau serta mengulas obat-obatan dari buah dan rempah. Naskah ini ditulis oleh seorang bernama Ahmad bin Hasim al-Jafari. Naskah ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan berbahasa melayu dengan ukuran relatif besar-besar. Naskah ditulis dengan tinta warna hitam dan merah dengan tulisan yang cukup mudah untuk dibaca.
![]() |
Manuskrip Naga Perang, Koleksi Museum Samparaja |
Naga dalam kebudayaan Bima identik dengan keberkahan dan penolak bala sedangkan Perang merupakan representasi dari bertahan hidup, jadi dapat disimpulkan Naga Perang suatu pengetahuan yang dijadikan sebagai petunjuk bagi orang Bima untuk memulai atau melaksanakan suatu pekerjaan yang diyakini akan mendapatkan keberkahan atau keselamatan.
Naga selain berkaitan dengan kajian falak lokal Bima juga mempunyai Jejak sejarah dalam sistem pemerintahan kesultanan Bima. Bukti tersebut bisa dilihat pada bangunan istana Asi Kalende yang di ukir tepat diatas pintu masuk sampana istana Raja Bicara tersebut dan tubuh naga menjadi tiga tiang penyanggah simbol dari tiga majelis kesultanan Bima yaitu Sara Sara, Sara Hukum dan Sara Tua. Naga Asi Kalende adalah representasi dari simbol transisi kepercayaan kuno orang Bima dan Islam.
Menurut Hitchock, Naga merupakan bagian dari tradisi pra-Islam di pulau ini dan penggunaannya yang berkelanjutan sangatlah penting. Seperti para penguasa Islam di tempat lain di kepulauan ini, orang Bima tidak sepenuhnya kehilangan kontak dengan warisan non-Muslim mereka, naga tidak hanya memberikan kesinambungan dengan masa lalu, tetapi juga melambangkan ikatan yang berkelanjutan dengan masyarakat non-Muslim di sekitarnya. Tulis Hitchock dalam bukunya Islam And Identity In Eastern Indonesia.
Suku Mbojo (Bima-Dompu) memiliki falsafah hidup yang diwarisi langsung dari leluhur mereka, dan tetap kekal hingga kini serta menjadi warisan turun temurun dari generasi ke generasi. Adapun falsafah hidup tersebut yaitu “Londo Ncihi” dimana saat kita mau melakukan aktifitas atau hajatan hidup diharuskan melihat hari baik dan buruk. Secara epistemologi Londo artinya memulai turun dari rumah sedangkan Ncihi yang baik dan benar, maka Londo Ncihi adalah memulai dengan Hari yang baik dan benar. Tradisi Londo Ncihi adalah implementasi naskah Naga Perang tersebut.
![]() |
Bagian isi dari naskah Naga Perang. |
Dalam naskah di anjurkan untuk memilih hari yang baik dan waktu yang tepat seperti berikut :
Pasal pada menyatakan nahas hari tujuh pada malam ahad, nahas siangnya saada. Pada hari isnin nahas tengah hari pada hari salasa nahas pukul enam. lagi pada hari rabu yang nahas bada dzuhur, pada hari kamis nahas pukul tujuh.
Pagi pada hari jum’at nahas habis asar, pada hari sabtu nahas pukul tiga. Sore adanya Wallahu Allaihim Bisowab Waalaihu Alamarjain.
Dalam naskah Naga Perang yang juga asal usul dari nama naskah yaitu diajarkan strategi berperang yang mengikuti tubuh naga. Menjadi sebuah perspektif dan pertanyaan apakah strategi perang ini adalah representasi dari melawan diri sendiri atau kajian militer kesultanan dahulu. Dalam naskah ditulis sebagai berikut :
Jika kita datang dari mulut naga perang kita kalah, kita punya lari lagi habis, kita punya raib lari adanya Wallaha Wallahu Ahad.
Jika kita datang dari belakang naga perang kita menang, lari suku capnya dengan selamat daripada senjata dan tiba berubah adanya Wallahu ahad.
Adat dan kepercayaan yang telah di warisi oleh leluhur terdahulu masih dilestarikan hingga sekarang, termasuk suatu kepercayaan tentang hari baik dan hari buruk yang dikenal dengan Londo Ncihi. Hari baik adalah hari yang didalamnya terdapat kualitas waktu yang baik untuk memulai melakukan sebuah aktivitas, sementara hari buruk adalah hari yang di dalamnya terdapat kualitas waktu yang buruk untuk memulai melakukan sebuah aktivitas seperti halnya potong kuku, perkawinan, memulai usaha dagang, memulai bercocok tanam, dan berpergian jauh.
Sebagai naskah klasik yang ditulis abad 19 masehi ini berisi informasi penting yang berkaitan dengan masalah penentuan hari baik dan buruk serta berkaitan dengan alam (musim, herbal dan lainya), maka kajian naskah ini memiliki identitas kultural secara sistematis. Khazanah pengetahuan Bima atau Fituha sangat relevan untuk dikaji lagi sekarang ini.
Oleh Fahrurizki
Penulis Sejarah dan Budaya Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar