ADS

Kayuhan sepeda mengantarkan saya melewati sebuah monument yang bertuliskan “Monument Juang Merah Putih Angkatan 45 Bima Utara” di jalan Gajah Mada, sejenak menengok kedalam kondisi monument tersebut ternyata masih bagus, di sekitar lantainya lumpur yang telah mengering nampak terlihat akibat sisa banjir bandang yang di alami oleh Kota Bima kemarin, sekitar monument sudah dipagari oleh sipemilik rumah hingga yang bisa dilihat hanya sebuah tugu perjuangandari ruas jalan raya.

Monument juang tersebut masuk dalam lingkungan kelurahan Pane, kecamatan Rasanae barat, Kota Bima, di bangun depan rumah salah satu pejuang Bima Idris Djafar. Monument menjadi saksi bisu ketika para pejuang mengibarkan bendera merah putih pertama di Bima Utara. Dan para pejuang itu berikrar hingga sampai tetesan darah terakhir untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah 30 menit mengamati dan bersantai di monument pada tempat tersebut sontak saya teringat akan sebuah bangunan sejarah lainnya yaitu Rumah Raja Bicara Abdul Hamid dan bagaimana kondisinya paska banjir bandang. Lalu saya mengayuh sepeda menuju bangunan tersebut yang terletak di RT 01 Kelurahan Pane, jalurnya masih jalan Gajah Mada, hanya 40 detik dari arah monument juang 45.

Monumen Juang depan rumah Idris Djafar, Kampung Pane.

Begitu tiba pagarnya sudah raib oleh banjir, sepeda saya simpan didepan gerbang, begitu masuk tidak ada seorangpun, akhirnya sendirian berkeliling depan halaman rumah sembari bernostalgia dengan sejarah Abdul Hamid yang merupakan tokoh pembaharu tanah Bima. Rumah bergaya eropa dipadukan dengan arsitektur Bima, memang Abdul Hamid seorang yang mempunyai jiwa seni arsitektur. Itupun terlihat pada beberapa bangunan-bangunan kuno di Raba sebelah Masjid Baitul Hamid yang dibangunnya.

Suasana rumah sangat sejuk karena masih banyak pepohonan. Dahulu rumah ini pernah dirampas oleh Belanda dijadikan rumah residen sekitar tahun 1930-an saat beliau diasingkan ke kupang, dituduh menggelapkan kas kesultanan oleh Belanda, namun itu tidak terbukti kemudian rumah diambil kembali oleh Abdul Hamid.

Jam menunjukkan pukul 4.30 WITA lalu saya mengayuh sepeda menuju Asi kalende yang terletak di samping selatan rumah Abdul Hamid. Begitu saya tiba di Asi Kalende di sambut oleh pemandangan yang sangat tidak sedap untuk dilihat, dimana Asi Kalende sudah sangat rapuh dan Sampana (emperan) sebelah utara sudah roboh dihantam oleh banjir kemarin.

Anjing-anjing menggonggong begitu saya melangkah menuju depan pintu utama, tercium bau busuk bangkai di sebelah pohon mangga, semak-semak tumbuh liar disekitar bangunan menutupi jalan setapak. Suram memang melihat sekitar dan kondisi bangunan, dibalik kisah kejayaannya dahulu yang menjadikan pusat pemerintahan Kesultanan Bima.

Asi Kalende diperkirakan dibangun ulang oleh Raja Bicara Abdul Nabi, Raja Bicara adalah Wazir atau wakil sultan yang mengurus berjalannya roda pemerintahan. Asi kalende bangunan yang berarsitektur rumah panggung Bima. Jendela-jendelanya masih tampak asli hingga paku penyangga tiang rumah masih terlihat dan bertahan. Pada jendela sisi timur bangunan masih terlihat ornament “Bunga Satako” ornament khas dari masyarakat Bima yang kerap di ukir pada kebanyakan rumah para bangsawan.

Nisan Pemakaman Bata, Jendela Asi kalende dan Rumah Raja Bicara Abdul Hamid

Setelah bernostalgia sejarah dengan Asi Kalende, saya menyempatkan diri untuk menziarahi makam “Bata” terletak disebelah selatan Asi kalende berjarak hanya 10 meter, makam ini dimana terbaring para Raja Bicara dan para ksatria Bima yang menjaga marwah dan martabat Kesultanan Bima. Depan makam tertulis pada gapura kompleks pemakaman Raja Bicara cagar budaya, dan sekitarnya juga dijadikan TPU pemakaman masyarakat sekitar.

Pada kompleks makam Raja Bicara terdapat 12 makam, dan enam makam dengan nisan yang ber-ornament bunga, dapat dipastikan adalah makam Raja Bicara, namun tidak tertera nama-nama dan tahun meninggal. Kondisi kompleks makam sudah ditumbuhi oleh rumput liar, sejenak saya luangkan waktu untuk mencabut rumput liar yang tinggi menutupi nisan.

Beristirahat beberapa menit setelah mencabuti rumput liar yang menutupi makam, jam menunjukkan pukul 5:30 WITA. Sembari menyejukkan diri saya berpikir kenapa Kampung Pane tidak dijadikan “Kampung Sejarah” saja. Dilihat dari catatan masa silamnya dahulu kampung ini bernama kampung Nae, tempat asal muasal para Rato dilahirkan hingga memimpin dan menjadi Sultan Tanah Bima. kampung ini dahulu menjadi sentral perlindungan para pejuang merah putih dari incaran Belanda. Kampung ini terdapat begitu banyak cagar budaya dan bangunan sejarah lainnya bukan hanya tempat-tempat yang saya kunjungi, jika berkeliling di kampung Pane memerlukan waktu seharian menjelajah sejarahnya, kampung ini untuk menjadi warisan generasi serta asal muasal sejarah Bima mulai ditulis.(Traveller Kampung)



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top