Bulan September tahun 1865 adalah bulan yang sunyi dan damai bagi Kesultanan Sumbawa. Wilayahnya, yang kaya akan hasil bumi seperti padi, bulan ini (sepetember) masyarakat Sumbawa Besar telah usai melakukan panen raya. Sumbawa Besar merupakan pusat pemerintahan dan jantung kehidupan masyarakat Samawa, pertengahan abad 19 masehi (1865) arsitektur kota ini adalah kota yang didominasi oleh rumah-rumah kayu beratap jerami, berjejer rapi mengelilingi istana sultan (lihat Kromo Blanda).
![]() |
| Kebakaran di Utan, Sumbawa. Tahun 1947 (Sumber : KITLV) |
Pada siang yang tenang di bulan September tahun 1865, ketenangan Sumbawa Besar terenggut oleh teriakan yang memilukan. Peristiwa itu bermula dari sebuah rumah kecil di tengah permukiman padat Sumbawa Besar, dalam laporan yang kemudian dicatat oleh pejabat Hindia Belanda di Makassar :
Tahun ini Sumbawa mengalami bencana dahsyat ketika seorang penduduk asli yang gila membakar kampung utama Sumbawa Besar, menyebabkan 2.500 rumah dan keraton Sultan hangus terbakar (lihat Vereeniging voor de Statistiek in Nederland).
Dari kesaksian Kapten Hugenholft setelah kapalnya pulang dari berlayar di Bima, Sumbawa dan Flores. Mereka memberikan laporan kabar buruk tersebut, atas kejadian di Sumbawa :
Pada tanggal 15 September, kebakaran terjadi di perkampungan Sumbawa Besar, yang dengan cepat menghanguskan seluruh kampung, yang terdiri dari sekitar 2.500 rumah, istana Sultan, dan rumah para pejabat kerajaan menjadi abu. Seluruh barang milik penduduk, seperti padi yang baru dipanen, semua unggas, dan seluruh perabotan Sultan menjadi santapan api dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari dua jam.
Tidak ada yang bisa diselamatkan. Kereta Yang Mulia Sultan, tongkat dengan kenop emas yang baru saja diberikan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal, pakaian, dan makanan, semuanya hangus terbakar. Panasnya begitu hebat sehingga dua benda logam milik Sultan benar-benar meleleh (lihat arsip Stadsarchiefs Hertogenbosch 1853-1941).
Awal mula bencana ini disebabkan oleh seorang penduduk setempat yang dalam keadaan demam tinggi hingga menyebabkan ketidaksadaran dirinya (tidak waras/gila), dia mengamuk dan membakar rumahnya (Dagblad van Zuidholland, 1865). Satu-satunya korban jiwa yang sangat disesalkan adalah dua wanita buta yang tidak dapat menyelamatkan diri dengan cukup cepat, sehingga terbakar hidup-hidup. Keadaan kebakaran terjadi pada siang hari ini cukup memberikan waktu pada masyarakat Sumbawa untuk menyelamatkan diri. Seandainya terjadi pada malam hari, setidaknya setengah dari penduduk akan binasa (Stadsarchiefs Hertogenbosch 1853-1941).
Meskipun demikian, kebakaran ini merupakan bencana besar bagi Sumbawa, terutama karena padi yang baru dipanen hancur total. Tidak diragukan lagi akan membutuhkan waktu lama sebelum Sultan, para pejabat, dan terutama rakyat biasa, dapat mengatasi musibah ini, dan mengembalikan lagi kondisi persediaan pangan.
Karena mayoritas bangunan terbuat dari kayu kering dan beratap jerami, serta jarak antar rumah yang sangat rapat, api menyebar dengan kecepatan yang mengerikan. Dalam waktu kurang dari dua jam, hampir seluruh kawasan pusat kerajaan, rumah-rumah pejabat, dan bagian luar kompleks istana berubah menjadi lautan api.
Kepanikan pecah. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri, harta benda, dan hewan ternak. Usaha pemadaman juga menjadi sia-sia melawan amukan api. Fokus segera beralih dari memadamkan menjadi melokalisir agar istana sultan, yang dibangun dengan material lebih kuat, dapat diselamatkan. Namun usaha penyelamatan istana juga sia-sia.
Tragedi 1865 menjadi titik balik gelap dalam sejarah Sumbawa Besar. Kota itu harus dibangun kembali, kali ini dengan perencanaan yang lebih matang dan penggunaan material yang lebih tahan api (meski prosesnya memakan waktu lama). Pada tahun itu Kesultanan Sumbawa dipimpin oleh Sultan Amrullah (1843-1882).
Peristiwa ini menjadi pengingat pahit bahwa bencana terburuk terkadang tidak datang dari musuh yang bersenjata atau badai alam, melainkan dari kombinasi kelalaian, kondisi lingkungan yang rentan, dan tindakan tak terduga dari satu individu yang kehilangan akal sehat. Kisah kebakaran 1865 ini menjadi legenda tragedi manusia, sebuah peringatan tentang kerapuhan peradaban di tengah alam yang keras.
Oleh :
Fahrurizki
Penulis Budaya dan Sejarah

0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar