Dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB Menyatakan kondisi kawasan hutan di Bima sangat kritis. Dari 250 ribu hektare kawasan hutan, sekitar 75 persen atau 167 ribu hektare dalam kondisi kritis (IDN TIMES, 04 Feb 2025). Kondisi hutan yang sudah mencapai tingkat kerusakan yang sangat parah ini dilihat sebagian para pemegang otoritas dengan sebelah mata. Banjir sudah menjadi siklus tahunan di Bima, kerugian material masyarakat Bima daratan mencapai miliaran. Hutan yang menjadi sumber kehidupan, penghasil oksigen serta obat-obatan. Kini, hutan hanyalah tersisa tanah kering yang pada musim hujan mengendap terbawa banjir menjadi lumpur di teluk.
kerusakan hutan ini juga mempengaruhi ekosistem teluk Bima, kita bisa melihat sedimentasi yang kian membesar pada hulu sungai Padolo dan sungai Melayu. Dampak buruk dari Sedimentasi ini kedepan akan mengganggu produktivitas perairan rendah, kondisi air laut teluk Bima kian menjadi coklat yang bisa dijumpai pada hampir semua pantai di pesisir teluk. Masa depan perikanan Bima akan terancam serta keaneka ragaman hayati teluk akan ikut musnah. Apa yang akan tersisa untuk keberlangsungan hidup generasi Bima kedepan?
![]() |
| Mata Air Jati Baru yang masih asri |
Tahun 1995 hingga 2005 masih banyak terdapat perahu-perahu nelayan menangkap ikan di dalam areal teluk, namun kini setelah maraknya penggundulan gunung untuk dijadikan lahan jagung, areal penangkapan ikan terusik. Sirkulasi ekosistem teluk tidak lagi berjalan seperti biasanya, kemudian para nelayan Bima harus bersaing dengan nelayan lain untuk mencari ikan diluar teluk. pada tahun 2022 masyarakat pesisir Bima di gemparkan oleh Sea Snot yaitu lendir laut dan berbusa, kemudian tahun 2024 kemarin kejadian yang serupa kembali menggemparkan masyarakat Bima. Hadirnya kembali lendir laut di teluk menandakan kondisi pencemaran yang sangat akut.
Rusaknya ekosistem alam Bima juga tidak terlepas dari hilangnya edukasi kultural tatanan adat orang Bima yang di sebut Parafu. Sebuah tradisi menjaga mata air dari turun temurun, Parafu adalah tempat mata air yang dalam kepercayaan orang Bima dianggap sakral dan suci. Sejak zaman Ncuhi (sebelum kerajaan/kesultanan) orang Bima mengenal kepercayaan Parafu ro Waro, yaitu kepercayaan pada kesucian alam sebagai sumber kehidupan (Parafu) dan penghormatan pada arwah leluhur sebagai keberkahan hidup.
Pada tiap-tiap Parafu atau mata air oleh kepala suku yang disebut Ncuhi, mengangkat seorang pejabat yang digelari Panggawa Oi untuk menjaga sumber mata tersebut, petugas ini diberi tanggung jawab hingga turun temurun pada klan keluarga mereka untuk tetap melanjutkan tugas tersebut hingga bisa dinikmati lagi oleh generasi mendatang. Panggawa ini membagi air dengan cukup adil pada komunitas. Bukan hanya air dia juga menjaga hutan yang dijadikan sebagai kebutuhan orang dahulu, saat menebang pohon untuk rumah, Panggawa memantau penebangan pohon yang berlangsung, memerintah untuk mengambil secukupnya sesuai keperluan.
Masuk era kesultanan tradisi leluhur ini tetap di lestarikan. Untuk menjaga nilai sakralitasnya pada mata air sebagai sumber kehidupan, setiap seremonial pelantikan seorang sultan akan dimandikan dengan air dari tujuh Parafu. Seperti halnya air doa atau saat kita meminum air Zamzam haruslah berdoa terlebih dahulu, setiap orang yang akan pergi mengambil Parafu, mereka terlebih dahulu akan berdoa atau dalam adat orang Bima disebut Kasaro. Orang tersebut akan melantunkan harapan untuk keberkahan tanah leluhurnya, Kasaro sebelum islamisasi syairnya banyak melantunkan posisi-posisi Parafu, contohnya sebagai berikut :
Saroo...
Parafu Oi Nao
parafu Mata Sata
Parafu Diwu Dina
Parafu Ngaro Udi
Dari keempat Parafu diatas juga mewakili empat arah mata angin, Parafu Oi Nao mewakili arah utara, Parafu Mata Sata mewakili arah selatan, kemudian Parafu Diwu Dina mewakili arah timur sedangkan Parafu Ngaro Udi mewakili arah barat. Setelah Islamisasi syair Kasaro di tambahkan syair yang menyebut nama Allah dan dan Nabi Muhammad, contohnya sebagai berikut :
Saroo..
Ruma Taalla Ma Kese Wara
Anangguru Nabi Muhammad Ma Ncewi Taroa
Namun kini edukasi terhadap Parafu telah mengalami kekeliruan edukasi yang salah dan pengertian yang sangat fatal. Parafu oleh masyarakat kini di pahami sebagai tempat pemujaan serta persembahan sesajen untuk mahluk gaib, pemahaman ini berawal dari beberapa penjaga Parafu menggunakan metode menyebarkan isu bahwa tempat parafu tersebut ada jin sebagai penunggu, tujuannya agar masyarakat takut mengotori atau merusak mata air serta ekosistem sekitar Parafu. Jika ada seseorang sepulang dari lokasi Parafu dan kebetulan terkena demam atau sakit lainnya, maka akan dibilang bahwa itu terkena "Iso" dari Parafu, kata iso berasal dari kata isu. Hal tersebut adalah strategi, dilakukan untuk menjaga dan merawat mata air tersebut.
Hilangnya tradisi menjaga Parafu ini membuka gerbang tradisi baru yang disebut "Oma" tradisi membuka lahan tadah hujan oleh orang Bima yang dilakukan setiap awal bulan November hingga April. Hutan mulai dibabat bersih untuk dijadikan lahan atau disebut "Ngoho" setelah dibersihkan kemudian akan ditanami padi dan sorgum.
Pada tahun 1987 tradisi Oma dan Ngoho ini mengkhawatirkan ekosistem hutan Bima, saat itu Bupati Bima Umar Harun mengeluarkan program untuk mencegah penggundulan hutan yang melebar. Program tersebut diberi nama Ngaha Aina Ngoho, program tersebut disosialisasikan dalam bentuk kearifan setempat. Ngaha Aina Ngoho menjadi jargon kultural hingga mampu mereduksi pembalakan liar hutan Bima.
Oleh :
Fahrurizki
Penulis Budaya dan Sejarah Bima

0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar