ADS

Di tengah krisis iklim Pulau Sumbawa saat ini, maraknya Deforestasi menyebabkan bencana alam sudah menjadi siklus tahunan, fenomena ini sering dikaitkan dengan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hutan untuk kepentingan ekonomi. Namun, dampaknya tidak hanya terbatas pada hilangnya tutupan hutan, melainkan juga memengaruhi keseimbangan ekosistem dan kehidupan manusia. Alangkah baiknya kita mulai kembali melirik pada filosofi kuno yang sudah dipraktikkan oleh leluhur orang Bima selama ribuan tahun. Konsep ini dikenal secara akademis sebagai Ekosofi.

​Ekosofi bukan sekadar pemahaman lingkungan, melainkan sebuah kearifan (sophia) yang memandang alam sebagai bagian integral dari diri manusia, bukan sekedar objek untuk dieksploitasi. Bagi leluhur kita, alam adalah subjek yang bernyawa. Hubungan manusia dengan alam bersifat timbal balik (resiprokal), yang didasarkan pada prinsip kultur. 

Uma Lengge berlatar hutan di Donggo (sumber mbojoklopedia) 

Leluhur Bima menerapkan konsep Ekosofi kedalam tatanan ruang hidup mereka. Yang pertama adalah Dumu Dou bermakna adalah awal dari kehidupan orang Bima, Dumu dalam arti ekologis adalah pucuk. Lalu, dari Dumu muncul Ncuri yaitu batang baru, dalam kultur kolektif orang Bima Ncuri melahirkan seorang pemimpin yang berada paling atas dengan gelar Ncuhi yang diambil dari kata Ncuri tadi. 

Ncuri adalah tempat semua organ sebuah pohon bertumpu, kajian falsafah leluhur mengenai Ncuri yaitu tumbuh menjadi batang yang menompang semua kehidupan, representasi dari kehidupan manusia yang tumbuh bersama untuk saling membantu satu sama lain. 

"Ncuhi Ede du dou ma dou, ina mpu'una ba weki, ma rimpa di siri wea nggawona, di batu wea lelena." Artinya Ncuhi asal muasal manusia, ibu dari kita semua, tempat kita semua berlindung, untuk di ikuti petuahnya.

Pepatah diatas bersinggungan dengan istilah-istilah ekologis selain Ncuhi, misalkan Ina Mpu'u yang bermakna ikatan dalam satu pohon. Kemudian, Ma Rimpa di Siri Wea Nggawona artinya pohon yang rindang tempat semua orang bernaung.

​Keyakinan leluhur Bima Parafu ro Waro juga berhubungan dengan ekoteologi yaitu spiritualitas Bumi mencakup tanah, air, dan hutan dianggap memiliki "penjaga" atau ruh, sehingga pemanfaatannya harus melalui izin atau ritual tertentu dalam hal ini adalah Kasaro. Kecukupan (Sufficiency) mengambil dari alam hanya apa yang dibutuhkan hari ini, tanpa keserakahan untuk menimbun. Keyakinan bahwa jika alam tersakiti, maka manusia juga akan merasakan dampaknya.

​Leluhur Bima tidak hanya berteori, mereka menerapkan ekosofi dalam sistem tata ruang politik dan hukum adat. Setelah era Ncuhi seorang Raja atau Sultan oleh orang Bima dipanggil "Hawo" yang diambil dari petuah lampau "Hawo ro Ninu" bermakna pemimpin yang meneduhkan dan melindungi rakyat refleksi dari sebuah pohon yang rindang. Kata Hawo berasal dari kata Nggawo

Dalam hukum adat Bima setelah semua musyawarah dilakukan untuk mencari solusi atau jalan keluar hukum maka dilakukan "Mangge Satembe, Kaleli Sabua" bermakna satu buah asam dan satu buah kemiri adalah simbol dari bersatunya masyarakat untuk saling mengerti dan memaafkan satu sama lainnya. 

​Saat ini, kita cenderung melihat alam sebagai komoditas. Hasilnya adalah deforestasi, polusi, dan pemanasan global. Memahami ekosofi leluhur memberikan kita perspektif baru. Restorasi Etika Mengubah pandangan dari "menguasai alam" menjadi "merawat alam".

​Kedekatan dengan alam, sebagaimana dipraktikkan leluhur, terbukti secara ilmiah dapat mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup. Memahami ekosofi kehidupan leluhur bukanlah langkah mundur ke masa lalu, melainkan langkah cerdas menuju masa depan. Dengan mengambil nilai-nilai penghormatan terhadap alam dan memadukannya dengan ilmu pengetahuan modern, kita dapat menciptakan pola hidup yang lebih seimbang.


Oleh :

Fahrurizki

Penulis Sejarah dan Budaya



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top