Benhur (Dokar) berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bima. Bima yang memiliki pelabuhan dan komoditi bertani, seperti bawang dan beras, jagung dll. Benhur menjadi alat angkut yang sangat baik kala itu, karena muatan barang yang lebih banyak. Sehingga menjadi bagian integral dari struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Bima. Keberadaannya mencerminkan pola sosial yang khas, sekaligus menjadi saksi perubahan sosial yang berlangsung secara bertahap di wilayah Bima.
Seiring berkembangnya zama, kemunculan alat transpotasi bermesin yang lebih cepat dan efisien seperti Bemo Kota (Angkutan antar kota), Ojek dll. Berdampak langsung pada struktur ekonomi tradisional dan memunculkan tantangan sosial baru, seperti alih profesi dan berkurangnya ruang interaksi sosial yang sebelumnya terbangun melalui benhur. Keberadaan pun terancam tersisihkan, tak jarak ditemui di jalan-jalan kota.
![]() |
| Benhur (sumber : Ilopeta) |
Ada kisah tersendiri dari Benhur sebagai alat transpotasi tradisional yang sangat memberikan kenangan yang indah dalam sebuah perjalan, kala mereka bersekolah maupun untuk sekedar jalan-jalan. Benhur menjadi alat untuk berpergian, sekarang secara kasat mata di lihat bahwa di beberapa jalan, kurang terlihat lagi. Benhur berasal dari sebuah novel karya Lew Wallace (1827-1905) yang berjudul “ Ben-Hur: A Tale of Kristus”. Novel ini diterbitkan pada tahun 1880. Diangkat pula ke sebuah film pada 1907, bercerita tentang sebuah kehidupan Judah Ben-Hur di awal abad ke-1. Ben-Hur merupakan seorang pangeran Yahudi yang kaya Raya. Suatu ketika Ben-Hur mendengar kabar bahwa sahabat masa kecilnya yang bernama Messala menjadi komandan garnisun diYarusalem tenpat Ben-Hur tinggal.
Perpisahan yang cukup lama telah mengubah Messala menjadi orang yang jahat dan kejam. Dalam waktu singkat persahabatan ini berubah menjadi permusuhan, Benhur dan keluarganya harus mendekam di dalam penjara tentara Romawi. Penamaan Benhur adalah budaya lokal masyarakat Bima yang sering menamakan sesuatu dengan tren terbaru, dengan melihat potensi kuda Bima yang kuat serta melihat kendaraan berkuda yang ada di Bima, merekam kembali ingatan kolektif mereka pada kisah Judais Ben-Hur tersebut. Lew Wallace pun tak pernah berpikir bahwa novelnya telah mengispirasi orang Bima untuk menamai kendaraan mereka dengan sebuah kata Benhur. (Baca. Benhur Mbojo dengan Benhur Lew Wallace).
Benhur berkembang pada kurun waktu 1960-an dan mulai berkurang pada tahun 2000-an. Transpotasi benhur menjadi andalan masyarakat Bima. Nasib dari kehadiran transpotasi modern yang bertenaga mesin seperti Bemo, Bus, Ojek dll, Benhur mulai mundur. Maskur berumur 50th , mulai belajar membawa kusir Benhur di usia 14th ,disaat menginjakan kaki di sekolah menegah. Maskur bercerita bahwa “sepulangnya dari mencari penumpang di siang hari, sejenak istrahat sebentar lalu di waktu sore pergi mencari rumput dipersawahan. Setelah mencari rumput, siap-siap memandikan kuda dan menjelang magrib tiba, rumput yang di dapat akan di potong kecil-kecil agar rumput nantinya dicampur dengan sekam giling, lalu dikasih makan kudanya. Waktu subuh tiba, kuda di persiapakan berserta dengan makanan nya, untuk keluar mencari penumpang. Dulu biasanya tempat mangkal favorit para kusir Benhur mencari penumpang itu, di pertigaan Jalan Sadia (Cabang TVRI), depan Pengadilan Agama (Cabang Ina Musa)/ sekitar Gunug dua, Terminal Dara, Pasar Lama dekat toko Lancar Jaya, Pasar Senggol. Kebanyakan para kusir Benhur dulu berasal dari Sadia, Sambina,E, Panggi dan Mande.
Perayaan hari kemerdekaan tiba, masyarakat Bima menyambutnya dengan begitu meria, para kusir Benhur pun ta kala meriahnya dalam penyambutan tersebut, mereka merias Benhur nya untuk ikut dalam perlobaan. Dulu suasananya sangat seru, masyarakat berbondong-bondong naik Benhur yang di rias untuk mengelilingi kota dan saling beriring-iringan. Mereka mulai star di lapangan Merdeka depan Istana Asi Mbojo dan finis di lapangan Pahlawan Raba. Para kusir Benhur mendapat ongkos dulu hanya Rp. 25 untuk siswa Rp. 100 masyarakat umum, dan terkadang ongkos nya menjadi Rp. 500.
Memori tentang Benhur tidak melekat dari masa kecil anak tukang kusir. Semua rekaman terekam jelas, disaat memandikan kuda, memberi makan, kadang weakeand tiba, diajak ke alun-alun kota. Melihat anak-anak seusia sedang bermain. Anak tukang kusir akan asik bermain dengan kuda. Kenangan tentang Benhur sangat kuat, karena Benhur menjadi transpotasi waktu mengijak Sekolah Menegah sampai Sekolah Menegah atas kelas 2. Waktu pulang sekolah tiba, Benhur Ama Heso sudah terpakir di depan gerbang sekolah, bersamaan dengan Bemo. Biaya pulang dari lewirato ke mande, hanya membayar Rp. 2000 kala itu. Duduk berdesak-desakan, duduk di bagian belakang dan kaki di keluarkan, sambil bersenandung, bercanda gurau bersama teman di atas Benhur sangat berkesan diingatan.
Benhur menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak keluarga. Profesi kusir benhur diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan sistem ekonomi tradisional yang berbasis pada keterampilan, kepercayaan, dan relasi sosial. Keberadaan benhur juga berkaitan erat dengan aktivitas pasar, acara adat, dan mobilitas masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, benhur tidak sekadar alat transportasi, melainkan simbol ketahanan ekonomi rakyat kecil di tengah berkembangnya sarana modern.
Sekarang Benhur tidak lagi mendominasi ruang public, sebagaimana pada masa sebelumnya. Namun, keberadaannya tetap bertahan dalam konteks tertentu, seperti acara budaya, ritual adat, dan simbol identitas lokal. Benhur kemudian mengalami transformasi makna, dari alat transportasi fungsional menjadi representasi nilai-nilai historis dan kultural masyarakat Bima. Dalam konteks ini, benhur berperan sebagai penanda memori kolektif yang menghubungkan generasi lama dan generasi baru.
Dinamika sosial masyarakat Bima tahun 1990 sampai 2000an dapat dipahami sebagai cerminan perubahan sosial yang lebih luas. Ia merepresentasikan pergeseran dari pola hidup tradisional menuju modern, sekaligus menunjukkan bagaimana masyarakat Bima beradaptasi terhadap perubahan tanpa sepenuhnya meninggalkan identitas budayanya. Benhur tidak hanya penting sebagai studi transportasi tradisional, tetapi juga sebagai bagian dari sejarah sosial yang merekam perjalanan masyarakat Bima dalam menghadapi arus modernisasi.
Oleh :
Haryati
Penulis Budaya dan Sejarah

0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar