Dalam kerangka itulah kita bisa membedah bagaimana pergumulan teologi Bima di lintasan ruang dan waktu. Secara terminologis, yang dimaksud dengan teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama, spiritualitas dan ketuhanan. Sejarah religi etnis orang Bima (lama), dikenal kepercayaanmakakamba dan makakimbi, tapi ditinggalkan perlahan-lahan oleh penganutnya seiring dengan kedatangan agama-agama Hindu-Budha, Kristen, Islam, meski ada juga sebagian masyarakat Bima yang masih mempertahankan kepercayaan lama itu. Belakangan Islam mendominasi ruang keagamaan di Bima, bahkan Islam pernah dijadikan sumber hukum positif yang dikenal dengan Syara’ Dana Mbojo di era Kesultanan Bima.
Jemaah Haji asal Pulau Sumbawa di Jeddah tahun 1888, Fotografer oleh Cristiaan Snouck Hurgronje. |
Kepercayaan Makakamba-Makakimbi, seperti ditulis sejarawan HilirIsmail (2008), arti kata kakamba adalah cahaya yang memancar (pancaran cahaya). Setelah mendapat awalan ma artinya berubah menjadi “benda yang memancarkan cahaya”. Sebenarnya pancaran cahaya hanyalah simbol dari kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu. Benda-benda yang dipercayai memiliki kekuatan gaib disimbolkan sebagai benda yang mampu memancarkan cahaya yang dalam bahasa Mbojo (bahasa Bima) disebut makakamba.
Dengan demikian, sebenarnya pengertian dari agama makamba, sama dengan dinamisme, yaitu agama yang mempercayai adanya benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Agama makamba mulai dikenal pada pada masa naka (pra-sejarah) dan terus berkembang pada masa ncuhi dan kerajaan, bahkan sampai sekarang masih ada anggota masyarakat Islam yang percaya terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu.
Menurut agama makamba, kekuatan gaib ada yang baik dan ada yang jahat. Benda-benda yang memiliki kekuatan gaib baik, akan dipakai dan dimakan, agar orang yang memakai atau memakannya senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang ada di dalamnya. Benda-benda yang memiliki kekuatan gaib jahat ditakuti, karena itu harus dijauhi. Seorang Naka, Ncuhi dan Sangaji (Raja) harus memiliki kekuatan gaib baik (mana), agar mampu menjadi “dou ma bisa ro guna” (orang yang sakti mandraguna). Sehingga mampu berperan sebagai “hawo ro ninu” (pengayom dan pelindung) masyarakat dari gangguan kekuatan gaib jahat. Setiap pemimpin dan anggota masyarakat harus mempunyai benda-benda yang memiliki kekuatan gaib yang baik, yang dianggap sakti dan bertuah seperti batu permata, keris, tombak dan tongkat. Bila memiliki dan memakai benda-benda itu, mereka yakin akan terhindar dari malapetaka. Karena itu, benda-benda tersebut dibawa kemana-mana untuk dijadikan “ai jima” (jimat) yang mampu menangkal bahaya. Setiap benda yang berkekuatan baik, dijadikan benda pusaka yang harus dipelihara oleh anak cucunya.
Selain menganut agama makamba, masyarakat mbojo (Bima) juga menganut agama budaya yang dikenal dengan istilah makimbi. Mungkin kata Makimbi berasal dari kata dasar “Kakimbi” yang mendapat awalan ma, sehingga menjadi makakambi kemudian berubah menjadi makimbi. Arti harfiah dari kata ini adalah cahaya yang berkelap-kelip atau yang berkemilau, seperti kelap-kelip cahaya bintang atau kunang-kunang pada malam yang gelap. Setelah mendapat awalan ma, artinya berubah menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya yang berkelap-kelip. Arti lain dari Kakimbi adalah gerakan denyut jantung yang membuktikan bahwa manusia atau binatang masih bernyawa, atau masih hidup, roh atau jiwanya belum meninggalkan jasad. Contoh : Mbuipu kakimbi nawana (masih ada gerakan atau denyutan nafasnya). Arti kakimbi dalam konteks ini sinonim dengan kata kakumbu. Ungkapan makakambi (makimbi) merupakan lambang roh atau jiwa yang dimiliki oleh setiap benda. Pengertian roh disini, tidak sama dengan pengertian roh atau jiwa menurut Islam, dan juga berbeda dengan pengertian ilmu jiwa (psikologi). Menurut masyarakat primitif, roh itu masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh itu mempunyai rupa, umpamanya berkaki dan bertangan panjang, mempunyai umur dan perlu ada makanan. Oleh masyarakat mbojo penganut agama makimbi, benda yang memiliki roh itu diumpakan sebagai makimbi yaitu benda yang mengeluarkan cahaya yang berkelap-kelip.
Berdasarkan pengertian kata tersebut, bahwa makimbi adalah istilah lokal mbojo yang sama pengertiannya dengan animisme yaitu agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai roh. Roh dari benda-benda tertentu seperti hutan lebat, sungai yang deras arusnya, gua yang dalam, laut yang dalam dan bergelombang dan pohon besar lagi rindang dan sebagainya ditakuti. Yang sangat ditakuti serta dihormati adalah roh nenek moyang, terutama roh Ncuhi dan Sangaji (Raja). Oleh penganut agama makimbi, roh nenek moyang terutama roh Ncuhi dan Sangaji yang sudah meninggal disebut “dou woro” (dou mboro), mereka bertempat tinggal di pamboro. Sedangkan roh-roh lain disebut marafu. Dou woro dan parafu selalu bertempat tinggal di lokasi yang sama, yaitu di parafu ro pamboro. Pada umumnya parafu ro pamboro berada di sumber-sumber mata air (telaga dan sungai), di pohon-pohon besar yang rindang, di puncak bukit, di batu-batu besar, di pesisir pantai dan sebagainya.Tujuan beragama menurut agama makimbi ialah menjalin hubungan baik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati, karena itu mereka berusaha menyenangkan hati para roh. Sebab apabila roh marah maka akan datang bencana dan bahaya.
Peranan Ncuhi sebagai pemimpin agama dalam menjalin hubungan baik dengan semua roh sangatlah besar. Pada saat-saat tertentu yang telah ditentukan,Ncuhi bersama tokoh masyarakat mengadakan upacara penyembahan yang dikenal dengan istilah “toho dore” di parafu ro pamboro. Dengan mempersembahkan ‘soji” (sesajen) yang terdiri dari hewan, berbagai jenis makanan, kue dan wangi-wangian (bunga), diiringi dengan pembacaan mantra yang bernama mpisi. Sampai sekarang masih ada anggota masyarakat yang melakukan upacara toho dore, peninggalan agama makimbi, juga masih ada yang melestarikan adanya ajaran makamba yang mempercayai adanya benda-benda sakti atau keramat. Dalam perkembangannya, agama makamba dan makimbi dianut oleh masyarakat mbojo sampai dengan berakhirnya masa kerajaan pada awal abad XVII M. Dalam perkembangannya, kedua agama ini saling melengkapi satu sama lain, bahkan menyatu dalam bentuk sinkretisme. (Hilir Ismail, 2008).
Selain benda-benda tersebut di atas, tanah yang subur, mata air, sungai dan pohon yang rindang dan rimbun pun dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan menjaga kekuatan gaib baik yang dimiliki oleh tempat-tempat tertentu, agar tidak pindah ke tempat lain. Kalau tempat dan benda tersebut kehilangan kekuatan gaibnya, maka akan terjadi kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan.
Secara geografis dan geokultural, Bima berdekatan dengan Pulau Lombok (NTB) dan Pulau Dewata (Prov. Bali). Sebagaimana diketahui, Bali adalah basis agama Hindu-Budha terbesar di Indonesia, bisa dikatakan pula sebagai “Serambi India” dalam spektrum kehinduan. Sedangkan Lombok yang ditempati masyarakat suku dominan – Sasak –dikenal pula sebagai penganut muslim yang fanatik pada Tuan Guru dan dijuluki “Pulau Seribu Satu Masjid”. Di Pulau Lombok pula terdapat basis Ormas Islam terbesar yang punya cabang di pelbagai wilayah di Indonesia, bahkan luar negeri, yaitu Nahdlatul Wathan (NW). Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang) – saat ini adalah ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan.
Pengaruh Hindu-Budha dalam bangunan keagamaan di Bima tidak begitu signifikan. Hanya sedikit. Jejak masuknya agama Hindu di Bima dapat dilihat pada prasasti Wadu Pa’a di Kecamatan Soromandi, bekas candi di Ncandi Monggo Kecamatan Bolo, Sanggu di Pulau Sangiang Kecamatan Wera, Wadu Tunti Rasabou dan kuburan kuno Padende Kecamatan Donggo. Begitu pula agama Kristen, hanya sedikit. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terletak di sebelah timur Bima itulah yang dikatakan sebagai basis penganut agama Kristen (Katolik). Ada juga penganut Kristen di Bima, terutama di salah satu desa di kec. Donggo, tapi berjumlah sedikit. Selebihnya, agama Kristen dianut oleh masyarakat pendatang dan perantau yang kebanyakan berasal dari NTT, Jawa dan Manado.
Sekitar awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Sultan Abdul Kahir dididik dalam agama Islam oleh dua orang Mubalig dari Sumatera, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro yang juga mengislamkan raja-raja di lima wilayah kerajaan, yaitu: Gowa, Wajo, Kutai, Selayar dan Bima. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Gowa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam.
Bahasa penyebaran agama Islam adalah bahasa melayu. Saat itulah Bo’ kerajaan mulai ditulis dalam bahasa Melayu. Beberapa waktu kemudian, mitos kerajaan pun dirombak dan ditulis kembali ke dalam Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa, aga sesuai dengan agama baru, Islam. Usaha ini menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebab, pada paruh abad ke-17, telah terdapat di lingkungan istana “golongan elite” yang mampu meleburkan mitos setempat dalam sejarah alam semesta dan mengarang cerita itu dalam bahasa melayu klasik. Bima selanjutnya, selain menjadi bagian dari kerajaan melayu, juga bagian dari ummat Islam. Sejak itu hubungan dengan Makassar semakin erat, baik melalui hubungan diplomasi maupun melalui perkawinan antara raja Bima dengan putra-putri Gowa.
Pada tanggal 5 Juli 1640 Masehi adalah momentum sejarah, di mana transisi politik dari sistem pemerintahan kerajaan menjadi kesultanan. Tonggak bersejarah itu ditandai dengan dinobatkannya La Ka’I, Putera Mahkota yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir. Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 14 orang sultan secara turun temurun hingga tahun 1951.
Geliat perkembangan Islam di Bima disertai dengan banyak berdirinya pusat dakwah, pengajian, majelis taklim dan syi’ar Islam lewat masjid-masjid dan surau yang terdapat di setiap desa (kampo ro mporo).Bahkan pengajian berkembang dari rumah ke rumah, terutama ngaji Qaro’a (pengajian Al-Qur’an) yang menggema dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Pondok Pesantren (ponpes) juga ikut menggeliatkan Islamisasi di daerah Bima.Diantaranya Ponpes Al-Husainy asuhan Drs. KH. Ramli Ahmad, Ponpes Al-Ikhwanuddin di Salama pimpinan Drs. H. Zainul Arifin, M.Si (mantan Bupati Bima), Ponpes Al-Malikin di Talabiu-Woha pimpinan Tuan Guru Drs. H. Fitrah A. Malik, Ponpes Al-Mukhlisin di Parado di bawah asuhan KH. Muhammad Hasan, Ponpes Darul Hikmah yang diasuh oleh KH. Abdurrahim Haris di Soncolela-Kota Bima, Ponpes Daarul Hamid pimpinan Ust.Abd.Hamid dan lain-lain. Apa kabar para kyai, tuan guru dan ulama serta santri Bima?
Di tengah kabar buruk akibat ulah sebagian saudara kita yang mencoreng wajah Bima lewat tawuran antar desa, kekerasan politik dan gejala ekstrimisme, maka sudah saatnya para santri dan segenap jajaran tua guru membawa kabar baik, menghadirkan energi positif, meniupkan angin optimisme, mengalirkan embun kesejukan berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Tawuran, kekerasan dan trend ekstrimisme adalah fakta, bukan gosip. Karena faktual, maka tak perlu lagi bermentalitas ‘korban’ yang menyalahkan pihak lain, apalagi ‘menciptakan’ musuh bayangan dan imaji tak produktif.
Oleh karena itu, introspeksi diri adalah langkah ril yang perlu diambil ketimbang membangun manuver yang bersifatapologetik. Seorang dokter profesional selalu menyarankan kepada pasiennya agar jujur dan terbuka mengakui penyakit yang dialami, baru kemudian diberi obat yang cocok. Kalau si pasien tak jujur, malu mengakui penyakit yang dideritanya, bagaimana dokter bisa mendiagnosa? Dan mengakui penyakit memang bukan karena perkara minim pengetahuan, hanya saja perlu sedikit latihan dan iman yang kuat.
Dus, pesan-pesan perdamaian yang terkandung dalam ajaran agama harus disebarluaskan ke khalayak ramai. Adalah sebuah ironi manakala agama menjadi tertuduh lantaran teks-teks keagamaan disalahtafsirkan dengan pemahaman yang sempit, terlebih jatuh ke dalam kubangan ekstrimitas yang merasa benar sendiri dan menghujat orang lain di luar golongannya. Dan tak jarang pula memicu konflik atas nama agama. Lebih lucu lagi kalau agama dipakai sebagai tameng untuk meneguhkan legitimasi kuasa dan memburu popularitas.
Etos toleransi, penghormatan dan penghargaan atas pemahaman yang beragam terkait ekspresi keagamaan bukan hanya semestinya diamalkan antar umat beragama, melainkan juga di kalangan internal, misalnya sesama muslim. Dan memang hal demikian diperintahkan oleh ajaran agama, misalnya dalam Islam dikenal pesan ayat, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Dalam ajaran Islam pula dikenal semangat Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) yang diikat dengan tauhid yang direfleksikan ke dalam tindakan konkret berupa kebajikan-kebajikan universal.
Disinilah relevansi peran kaum santri yang memiliki basis pemahaman keislaman yang kuat, berwawasan kebangsaan dan berkesadaran global serta nilai-nilai kemanusiaan agar mengartikulasikan pesan-pesan keagamaan yang bisa membangun ketertiban dan keteraturan sosial. Membaca teks memang tak cukup, perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan membaca konteks, ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Tuhan yang tercermin pada semesta. Itulah yang disebut sebagai fenomena alam maupun fenomena sosial yang terorganisir dalam kategorisasi ilmu pengetahuan.
Dari pembacaan semesta pengetahuan itu, dapat dijadikan sumber mata air pencerahan yang dipadukan dengan jagad keagamaan yang meliputi dimensi filosofis, etik dan sufisme sebagai solusi integral dalam mengatasi persoalan aktual yang berkembang akhir-akhir ini. Melalui forum-forum pengajian, para santri dapat menembus jendela otak umat lewat nutrisi pengetahuan yang menyehatkan, menenangkan dan menjernihkan. Insan agamis ideal di masa depan adalah prinsipil dalam beragama, melek informasi, tidak kaku dan sinis dengan modernitas, berkebudayaan serta berkomitmen keindonesiaan. Dengan begitu, agama menjadi sumber nilai untuk mengaktualisasikan idealitas ilahiyah ke dalam realitas insaniyah.
Bahan Bacaan:
- Aris Munandar, Agus. 2007. Religi dan Falsafah. Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
- Hamzah, Muslimin. 2004. Ensiklopedia Bima. Bima : Pemda Kabupaten Bima.
- Ismail, M. Hilir. 2008. Kebangkitan Islam Dana Mbojo. Bogor : Penerbit Binasti.
Oleh : Mawardin Sidik
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya Bima serta editor Mbojoklopedia
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar