ADS

Saat era Sultan Abdul hamid Muhammadsyah (175-1817), Sultan Bima yang ke sembilan. Dalam sejarahnya adalah sultan yang paling kontroversial dalam kepemimpinannya. Dari beberapa  kontroversialnya, juga pernah mengubah sejarah pemerintahan Sumbawa pada masa lampau, dimana peraturan Kesultanan Sumbawa untuk tidak lagi mengangkat seorang wanita sebagai sultan (Sultanah), karena kedua istri Sultan Abdul Hamid adalah anak dari Sultan Sumbawa Harun Arrasyid II. Banyak kerugian yang dialami oleh kesultanan Sumbawa karena Abdul Hamid, terutama harta benda yang diambil dan di bawah ke Bima.

Selain kontroversial diatas, juga Sultan Abdul Hamid adalah orang pertama di kepulauan sunda kecil yang pertama mempunyai cermin pada waktu itu. Semua orang membicarakan cermin pemberian VOC tersebut karena terlihat bagaikan sihir. Pemberian barang mewah dan cermin tersebut melatari akal bulus bangsa Eropa menyiasati sultan untuk kontrak dagang berupa komoditi Kayu Suppa (sopeng). Inggris, Portugis dan Belanda. 

Gambar pegulat di Konstatinopel (Ihistory.com)

kerajaan Eropa berlomba untuk mendapatkan kontrak kayu Suppa dengan Kesultanan Bima, walaupun saat itu Inggris mempunyai hegemoni besar di Nusantara, namun akhirnya Belanda mendapatkan kontrak kerja tersebut untuk memonopoli kayu Suppa, strategi Belanda berhasil, karena mereka tahu Sultan Abdul Hamid sangat menyukai barang-barang mewah. Oleh sebab itu Abdul Hamid dijuluki Ma Ntau Asi Saninu (yang mempunyai istana cermin).

Gaya hidup sultan Abdul Hamid sangat parlente, pakaian mewah dengan benang emas, mahkota berlian hingga koleksi perahu balap. Dalam catatan Bo Bumi Luma, Sultan juga sering melakukan sabung (adu ayam), “Pada hari ini Tuan Kita bersabung dengan segala bumi-bumi dan jena-jena tureli banyaklah hayam rebah pingsan.”(lihat Iman dan Diplomasi). 

Setiap pekan perlombaan perahu balap dilaksanakan di teluk Bima. Hingga saat itu semua pejabat kesultanan berlomba untuk mempunyai perahu balap. Perahu-perahu balap sultan didatangkan dari jawa untuk di adu. Perahu yang menang akan mendapatkan kambing dan hadiah dari sultan (Mahyudin : 1983).

Selain perahu juga manusia di adu saat itu, adu manusia ini dikenal dengan istilah “Begoco”. Dalam pengertian bahasa Bima Begoco adalah gulat, para pegulat ini diambil dari budak-budak dan Dou Mbani (petarung) yang diseleksi khusus. Harga budak pegulat Begoco ini juga sangat fantastis. Para pemilik petarung Begoco kebanyakan dari kelas Ruma Rato (para bangsawan atas). Konteks kelas sosial pada masa lampau di Bima saat itu, adalah siapa yang memiliki pegulat Begoco, akan semakin tinggi pamornya.

Setiap perayaan hari besar atau hajatan akan diadakan berbagai pertunjukkan mulai dari sabung (adu ayam), juga Sultan Abdul Hamid tetap menghadiri pertunjukan wayang dan dabus, seperti halnya ia biasa pergi ke tempat pesta rakyat, terutama semacam gulat (begoco), selama turnament berlangsung lebih dari dua minggu pada bulan Oktober 1786, ia memberikan hadiah uang kepada para pegulat yang berhasil menjatuhkan lawan mereka. Tulis Henry Chambert-Loir dalam State, City, Commerce: The Case of Bima.

Pertarungan Begoco bukan hanya soal menjatuhkan lawan, mereka di adu hingga berdarah dan juga bertarung sampai mati. Dalam Bo Bumi Luma Rasanae, di tulis bagaimana mereka di adu hingga mati untuk menjadi hiburan para pembesar kesultanan. Dalam Bo di tulis sebagai berikut:

“Pada hari ini Tuan Kita melihat orang begoco kepada Mande ada yang darah luka.”

“Pada hari ini Duli Yangdipertuan Kita kedua laki istrinya turun memandang orang begoco.

"Kemudian hari antaranya sendirinya Tuan Kita yang senantiasa turun memandang orang begoco itu, ada yang pingsan yang keluar darah.”

“Pada hari ini lagi pula [Tuan] Kita melihat orang begoco kepada Mande, ada yang luka, ada yang rebah kematian.”

(Bo Bumi Luma Rasanae : 1784)

Arena Begoco diadakan di Mande sebuah kampung di utara Rasanae (sekarang Kecamatan Rasanae Barat). Tiap pekan terus diadakan di arena Mande. Untuk memenuhi hobi sultan mengumpulkan pegulat Begoco, tak ayal dalam peraturan yang dibuat oleh Sultan, dimana jika ada setoran budak harus dicari Dou Mbani (lihat Bo Sangaji naskah 85-88).


Oleh : Fahrurizki

Pengamat Sejarah & Budaya Bima 


  


0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top