ADS

Ndano Nae, sebuah perkampungan yang terletak di ujung utara pegunungan Busu, seperti biasa udara pegunungan pada umumnya begitu dingin dan sejuk, terlihat pada bagian ngarai masih bersemayam kabut tipis dicelah pepohonan. Sayangnya punggung gunung sudah tampak sangat gundul karena warga menjadikannya ladang jagung musiman pada musim hujan. Juga masih terlihat sisa-sisa daun dan batang jagung dari panen kemarin. Untuk menuju Ndano Nae dari Rite kurang lebih 20 menitan menyusuri aspal menuju perkampungan Ndano Nae. 

Awal mula terbentuknya komuitas komunal dan nama Ndano Nae sendiri berawal dari dahulu kebiasaan warga Ntobo melepaskan sapi, kerbau dan ternak lainnya di atas pegunungan. Ada satu kubangan lumpur yang sangat besar didukung oleh rerumputan hijau, kemudian lambat laun sambil menunggu hewan ternak mereka yang dilepas, maka dibuatlah “Ngguwu” rumah kecil untuk menjaga ternak. Lambat laun Ngguwu mulai di bangun oleh peternak lainnya hingga menjadi banyak dan terbentuklah kampung tersebut. Nama Ndano Nae sendiri berarti kubangan besar tempat kerbau berendam. 

Warga Ndano Nae sedang berdoa bersama (foto : Fahrurizki)

Mayoritas warga disini, adalah muslim dan salik tarekat Naqsyabandiyah wa Qadiriyah, yang awalnya mereka mengikuti mursyid Aba Fendo. Sedikit penjelasan mengenai datangnya penyebaran Naqsyabandiyah wa Qadiriyah di Bima oleh Syekh Abdul Ghani al-Bimawi pada pertengahan abad 19 masehi, yang ijasah silsilah mursyidnya dari Ahmad Khatib Sambas. Namun jauh sebelumnya pada akhir abad 17, tarekat Naqsyabandiyah sudah kontak dengan Bima melalui jaringan para Syekh melayu dan Sulawesi.

Kembali lagi pada suasana perkampungan hanya tampak beberapa wanita paruh baya yang sedang menenun dengan Muna Tua (alat tenun) peninggalan keluarga mereka turun temurun. Pada salah satu rumah panggung, depan sampana tampak dua orang lelaki paruh baya sedang asik berbincang.  Mereka kelihatan sumringah, sambil meneguk kopi hitam. Asap air panas dan ampas kopi masih mengendap di antara mulut gelas kaca dengan motif bunga-bunga berwarna hijau itu.

Baru diketahui, warga Ndano Nae, juga menanam kopi pada perkarangan dan kebun mereka. Terlihat pohon-pohon kopi dengan cery-nya yang masih tampak hijau, sebab barusan bulan lalu mereka sudah panen, dengan cuaca yang dingin diatas ±500 mdpl memang sangat cocok untuk dijadikan tempat budidaya kopi.

Kembali menyinggung tentang Tarekat Naqsyahbandiyah, ada istilah kultur tersendiri oleh warga Ndano Nae menyebut tarekat ini dengan nama “Tarekat Tua”. Dalam terminology bahasa Bima kata “Tua” sendiri mempunyai makna kebijaksanaan, Dou Matua-tua berarti para sesepuh yang bijak atau alim ulama. kata tua juga identik dengan kolektif kolegial dalam pemerintahan hadat Bima yaitu Sara Tua, sebuah lembaga yang berkaitan dengan politik dan agama. 

Istilah tua juga juga merujuk pada ajaran keagamaan Bima yaitu “Ngaji Tua.” interaksi mursyid dan salik mengenai pembahasan kitab-kitab tasawuf dari berbagai tarekat, para salik Ngaji Tua disebut Fitua, seorang yang sudah mencapai tingkatan pemahaman tasawuf yang baik, dahulu masyarakat Bima bukan hanya satu mengikuti tarekat, banyak tarekat yang mereka ikuti dan pelajari, oleh sebab itu berbagai tradisi dan budaya Bima banyak terpengaruh oleh tarekat. Contohnya dalam kerajinan menenun dan membangun rumah panggung.

Warga Ndano Nae menjadi jamaah Tarekat Tua sejak orang tua mereka terdahulu. Mursyid tarekat mereka berpusat di Ntobo dengan nama Syekh Ibrahim. Setelah Syekh Ibrahim wafat dilanjutkan oleh Haji Fandy atau biasa warga Ndado Nae menyebutnya Aba Fendo. Kini, Naqsyabandiyah di Bima hanya bertahan di Ntobo, Busu dan Ndano Nae – wilayah pinggiran sebelah utara Kota Bima. 


Oleh : Fahrurizki
Pengamat budaya dan sejarah Bima



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top