Berawal dari politik perlawanan para pedagang Islam yang menentang Belanda memberikan keleluasan pedagang asing (Eropa dan Tionghoa) memonopli pasar atau menguasai seluruh komplar ekonomi kala itu. Adalah Haji Samanhudi dan beberapa kawannya mendirikan sebuah organisasi Nasionalisme yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905, kemudian pada tahun 1906 SDI di ubah menjadi Sarekat Islam saat kongres pertama mereka di Solo. SI berkembang dari Solo ke Batavia oleh R.M Tirtoadisuryo pada tahun 1909, tahun 1912 bergabung lagi para bangsawan yang mempunyai ideologi sama bernama H.O.S Tjokroaminoto bersama Hasan Ali Surati.
Perkembangan SI sangat pesat dengan masif di Jawa dan sekitarnya, hingga hembusan angin Sarikat Islam menuju timur dan mencapai Bima pada tahun 1918 dibawa oleh seorang Ulama yang bernama Haji Muhammad Tahir berasal dari Banjarmasin. Kemudian diterima oleh seorang bangsawan bergelar Bumi Parisi bernama Djafar bersama seorang Ruma Sehe bernama Syekh Muhammad Mansyur. Pada tahun yang sama (1918) secara resmi Sarikat Islam berdiri di Bima, karena ideologi yang sama berasaskan Islam masyarakat Bima juga menerima SI sebagai organisasi pertama di tanah mereka.
Foto Sarekat Islam Banjarmasin yang membawa awal SI ke Bima (Sumber : Jejakrekam.com) |
Kolaborasi ulama dan bangsawan ini membawa SI kepuncak organisasi yang sangat berpengaruh di Pulau Sumbawa. Para tokoh SI membakar sumbu perlawanan pada politik Belanda mengenai pajak dan kerja rodi, sekitar tahun 1920 Sarikat Islam mendesak pihak kesultanan untuk tidak menyetujui setiap kontrak yang merugikan rakyat, usaha gerakan merekapun mencapai keberhasilan, akhirnya pajak dan kerja rodi dihapus. Keberhasilan SI tersebut membawa pengetahuan baru politik di Bima yaitu pembentukan organisasi politik, namun semakin berkembang maka semakin besar badai menerjang, SI selalu dibatasi oleh Belanda dalam pergerakannya di Bima (Depdikbud : 1991 : 57).
Semakin banyak kaum agamais serta pedagang yang mendukung dan masuk bergabung di Sarikat Islam, para pejabat Majelis Syara Sara kesultanan bermunculan di meja pertemuan SI, salah satunya adalah Khatib istana Abdurrasyid. Setelah peristiwa Perang Dena dan Ngali tahun 1907 hingga 1908, Hindia Belanda menguasai Sultan dan Majelisnya untuk memegang control politik, dari tahun ke tahun pergerakan SI dipersempit karena keberpihakan para pejabat kesultanan dalam organisasi ini, hingga membuat Belanda khawatir dan merubah berbagai Hukum dan system pemerintahan kesultanan Bima, era tahun 1920-an adalah era degradasi politik pemerintahan kesultanan yang sudah dipengaruhi campur tangan Hindia Belanda. Contohnya Majelis hadat dipersempit hanya mengurusi badan peradilan kesultanan yang berpedoman pada hukum Hindia Belanda (Depdikbud : 1991 : 106).
Para kader SI Bima gencar membina masyarakat dari keterpurukan buta huruf, karena tidak ada ruang belajar bagi rakyat kecil, akhirnya berbagai madrasah mulai dibangun oleh kader yaitu sekolah Al Irsyad yang didatangkan dari tanah Jawa. Munculnya sekolah-sekolah agama memberikan warna tersendiri bagi rakyat Bima, melalui madrasah mereka bisa mendapatkan pendidikan yang baik untuk kemajuan suatu bangsa. Sarekat Islam Bima tetap pada tujuan awal mereka yaitu memajukan umat Islam dan memperbaiki ekonomi.
Pergerakan mereka semakin berkembang pesat di Bima hingga membuat geram pemerintahan Hindia Belanda. Melalui Sultan pemerintahan Hindia Belanda meminta agar para kader Sarekat Islam yang menjabat dalam kesultanan agar dipecat dan SI dibubarkan. Pada tahun 1923 oleh Sultan Bima Muhammad Salahuddin mengeluarkan keputusan untuk membubarkan SI dan memecat Bumi Parisi Djafar, Muhammad Saleh Kadasu, Muhammad Yakub Abdurrahman hingga Khatib Abdurrasyid. Setelah dipecat, kegiatan politik mereka tidak berhenti sampai disitu, namun semakin melebarkan sayap perlawanan, di tahun yang sama juga mereka mendirikan sebuah organisasi dagang dinamakan Setia Usaha.
Setia Usaha mengumpulkan seluruh pedagang Bima untuk kesadaran persatuan Nasionalisme menguatkan ekonomi lokal untuk melawan hegemoni pedagang Cina yang didukung oleh Belanda. Perkembangan ekonomi Bima semakin baik dan pendanaan gerakan organisasi politik Islam semakin memotivasi rakyat, hingga membuat dua saudagar Bima yang berpengaruh bergabung yaitu Abdul Wahab dan Yasin Idris yang semakin menambah kekuatan gerakan Setia Usaha. Mulai dari Sarekat Islam dan menjadi Setia Usaha adalah awal pergerakan kesadaran Nasionalisme dirintis untuk melawan dan melepaskan belenggu kolonialisme di Bima.
Oleh : Fahrurizki
Koreksi Dae Paragraf Ke 6 seharusnya pada tahun 1923 sultan Bima saat itu Muhammad Salahuddin
BalasHapus