Tepat pukul satu siang dan matahari mulai terik, nenek Hamidah yang kini berusia 90 tahun lebih mengambil tempat sirihnya berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun pandan buatan dou Wawo (orang wawo), dalam kotak sirihnya terdapat enam bagian untuk tempat masing-masing bahan sirih. Pinang, Kapur, Daun Sirih, daun lontar serta tembakau dengan warna agak coklat tua untuk dicampur dalam sirihnya serta rokok.
Foto para wanita yang dijadikan Jugun Ianfu (Sumber : Hipwee.com) |
Selembar daun sirih disiapkan oleh Hamidah, lalu separuh buah pinang yang sudah dibelah dua diletakkan ditengah daun sirih, kemudian kapur basah atau dalam bahasa Bima disebut Afu di colek ditengahnya dan tembakau sedikit. Kemudian daun sirih dilipat hingga mengecil dan dimasukkan kedalam mulutnya. Kunyahannya cukup lama hingga membuat bibirnya memerah semua, tidak hanya bibirnya namun semua mulutnya juga menjadi merah.
Setelah mengunyah sirihnya selama 30 hingga 40 menit kemudian tangannya yang sudah keriput meraih tempat sirihnya lalu membukanya kembali untuk mengambil daun lontar, dia melipatnya hingga memanjang terus membukanya kembali untuk di isi tembakau satu jumput. Dengan pelan dia melintingnya, setelah itu tangannya memnyobek pinggiran lontar untuk dijadikan tali ikatan rokoknya. Dengan korek kayu membakar rokok lontarnya yang biasa disebut rongko ta`a, satu hisap dilanjut dua hingga tiga kali lalu beliaupun mematikkan dan menyimpan rokok tersebut dibawah tikar pandan tempat biasa dia duduk.
Lalu diapun berkisah bahwa kebiasaan sirih dan rokoknya dimulai ketika dia berumur 16 tahun saat Bima sudah di duduki oleh Jepang sekitar tahun 1944. Hamidah dan orangtuanya tinggal di Kampung Sarae disebelah Oi Pompa tempat penampungan air bersih untuk Bima yang dibuat oleh Belanda sekitar tahunj 1880-an.
Pada suatu hari tersebar berita bahwa pasukan Jepang yang datang dari Timur (Kupang) pulang berperang mencari para gadis remaja untuk dijadikan penghibur dan pemuas kebutuhan seksual mereka yang dikenal dengan Jugun Ianfu. Para wanita yang dicari oleh tentara Jepang wanita yang bersih dan berdandan. Sontak para orang tua dan anak gadisnya panic dan takut, apalah daya masyarakat kecil yang tidak mempunyai pengaruh, hingga akhirnya semua anak gadis di Bima era itu di nikahkan secepatnya tak pandang bulu siapa calon suaminya yang penting orang Bima dan Islam, peristiwa tersebut dikenal dengan nama Nika Baronta, kisah Hamidah.
Maka mereka berpikir bagaimana mengelabui Jepang agar anaknya tidak diambil untuk dijadikan budak seks tentara Jepang di asrama Raba. Terpikirlah oleh mereka bahwa Jepang hanya mau gadis yang bersih, dengan keadaan yang sangat terpaksa para gadis itu harus belajar untuk bersirih dan rokok, kisah Hamidah sembari meminum air putih di mug kaleng miliknya yang selalu ada disamping tempat duduknya.
Ketika terdengar suara sepatu serdadu Jepang yang turun dari truk, maka seluruh gadis di Kampung Sarae dengan cepatnya membuat sirih dan memakannya sambil melinting rokok. De wanai….de wanai…de wanai… kata serdadu Jepang ketika melihat para gadis itu saat makan sirih, dimana seluruh mulut serta giginya memerah dan bau sirih ditambah bau rokok dari lontar semakin membuat nafsu mereka hilang dan pergi ke kampung lain.
Sirih dan rokok terus dilakukan oleh para gadis itu hingga jepang keluar dari Bima tahun 1947, lalu sirih dan rokok menjadi kebiasaan mereka hingga kini. Sudah termasuk bahan pokok untuk sirih serta rokok dikalangan wanita angkatan 45 di Kampung Sarae, yang dimana tradisi sirih (tanpa rokok) biasa didapati sekitar daerah pegunungan, namun lain halnya dengan para wanita tersebut hidup dan kebiasaan mereka adalah wanita dataran, namun kebiasaan sirih dan rokok itu muncul untuk melawan Jugun Ianfu.
(kisah diatas hasil wawancara dengan nenek Hamidah tahun 2017).
Oleh : Fahrurizki
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar