Pasukan Anangguru Jara Kesultanan Bima dan Kuda La Manggila tahun 1924. (Foto : Kromoblanda) |
Dahulunya hingga kini dari Lambu dan Sangyang Api adalah tempat perdagangan kuda-kuda Bima, tercatat pada laporan para pelaut dimana pada abad 14 masehi kedua tempat tersebut sudah disebutkan dalam kitab Nagarakertagama (Sapy dan Sanghyang Api). Dua tempat tersebut sebagai tempat strategis pelabuhan perdagangan lainnya di wilayah utara dan timur Bima, selain pelabuhan di teluk. Kuda-kuda perang terbaik diperdagangkan oleh Bima kala itu, sejak dahulu Bandar (Pelabuhan) Bima sering melukan kontak perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain, tak hanya kuda juga komoditi perdagangan lainnya seperti kain kasar, kayu celup dan kayu supa.
Biasanya kuda Bima dibeli untuk keperluan perang dan berburu, sebab walaupun fisiknya yang kecil namun mampu memuat yang berat. Di Sulawesi kuda Bima dipergunakan untuk perburuan karena fisikknya mampu bertahan disegala medan. Pada sekitar abad 14 kuda Bima banyak di impor ke pulau-pulau seberang seperti Jawa, menurut Van Naerssen bahwa kuda Bima telah dikenal sejak awal berdirinya kerajaan Majapahit (Depdikbud, 1997 : 45).
Kuda Bima dipergunakan oleh pasukan Majapahit sebagai tunggangan perang, kuda Bima yang turut merintis berdirinya kerajaan tersebut dimulai dari perang Majapahit dan Daha (Kediri). Seorang ksatria dari Madura yang bernama Rangga Lawe melakukan duel maut, dengan menunggangi kudanya yang bernama Anda Wesi, duel antara Rangga Lawe dan Sagara Winotan seorang ksatria dari Kediri, diketahui Sagara Winotan menggunakan kendaraan perang yaitu sebuah kereta untuk duel tersebut. Kemudian duel berakhir dengan terpenggalnya kepala Sagara Winotan oleh Rangga Lawe.
Untuk diketahui bahwa kuda yang biasa ditunggangi oleh Rangga Lawe dan keluarganya di Madura adalah kuda yang berasal dari timur pulau Sumbawa yaitu Bima. Kontak dagang Bima dan Jawa memang sudah berlangsung cukup lama, hubungan dagang dan diplomasi terjalin dari politik perkawinan pada era Raja Bima yang bernama Maharaja Indratarati (1350-1370), dimana istri dari Raja tersebut berasal dari bangsawan Jawa kemudian melahirkan Raja Manggampo Jawa (1370-1400).
Perang antara Majapahit dan Daha (Kediri) terus berkecamuk di pulau Jawa, dimana dikisahkan dalam Kidung Harsa Wijaya. Persiapan perang dilakukan secara maksimal oleh Majapahit untuk menyerang kerajaan Kediri. Kemudian Rangga Lawe meminta ijin untuk pulang menuju Madura, kemudian secepat mungkin menuju Majapahit membawa kuda ayahnya, berasal dari dari Bima, Tulis Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit).
Perang antara Majapahit dan Kediri semakin melebar, Majapahit yang didukung oleh pasukan Tartar serta Madura menyerang kekuatan Raja Jayakatwang diselatan Kediri. Sebanyak dua puluh tujuh ekor kuda Bima diberikan oleh Rangga Kawe kepada Menteri dan pasukan Majapahit untuk berperang melawan Daha. Setelah Daha runtuh pada April 1293, Majapahit yang awalnya sebuah Desa kemudian menjadi pusat pemerintahan kekuasaan baru, pada tahun yang sama dideklarasikan sebagai kerajaan baru dengan nama Majapahit.
Tidak hanya Majapahit yang menggunakan kuda Bima sebagai tunggangan perang, juga kerajaan Gowa di Makassar. Ketika Gowa akan berperang maka Sultan Bima akan mengirim pasukan berkudanya. Pada awal abad 20 Hindia Belanda juga menggunakan kuda-kuda Bima untuk dipergunakan oleh serdadu KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger).
Oleh : Fahrurizki
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar