Individu dan kelompok yang terlibat adalah warga kita pula, baik yang melukai maupun yang dilukai, yang membunuh maupun yang dibunuh, lagi-lagi warga kita, termasuk penonton. Sungguh sangat disayangkan.
Realitas buram itu, membuat kita bisa mengatakan bahwa Bima yang dulunya identik dengan masyarakat yang taat pada keislamannya, tapi saat ini berkebalikan, kendati tidak seluruhnya. Sulit untuk mengatakan Islami kalau ada sejumlah orang sesama manusia aja saling mencabut nyawa gara-gara soal sepele. Berkurangnya rasa cinta dan kasih sayang antar sesama, minim kesopanan dan keadaban sudah mendekati stadium berat. Kebanyakan emosi ekstrem yang ditampilkan ke ruang publik.
Gantao, salah satu kesenian kontak fisik yang dilakukandengan cara menari, biasa dimainkan oleh dua orang pria dewasa (foto : mbojoklopedia.com) |
Semestinya ajaran Islam diamalkan dalam akhlak yang konkrit, misalnya bersegera saling maaf-memaafkan kalau tetiba terjadi senggol fisik, bukan malah menajamkan identitas ke-kampungan lalu bertindak kampungan, berkelahi tak karuan. Apalagi mau menghadirkan parade membunuh sesama saudara dengan motif (ilusi) untuk mengiklankan ke khalayak ramai biar dianggap keras. Sangat konyol.
Kalau saja berkeinginan benar-benar mengislami-kan Dana Mbojo, tak usah muluk-muluk mau bikin “perda syari’ah” atau memformalisasikan “syari’at Islam” dalam pemerintahan, biar dianggap syar’i, misalnya. Mulai dari hal-hal sederhana dulu. Kalau di sebuah masjid sedang adzan magrib misalnya, bunyi motor jangan dikencangkan kalau memang benar muslim. Kalau kita bertindak cela, atau menyakiti orang lain, lalu ditegur dan dinasihati oleh orang-orang tua, turunkan egonya – kemudian taat – kalau memang religius.
Kaum beragama semestinya mengedepankan etos disiplin, budaya antri, tidak buang sampah sembarangan, mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, toleran terhadap orang lain sekalipun berbeda suku, agama, mazhab beragama, ras, gender, warna kulit dan status sosial-ekonomi-budaya. Tolong dipakai juga akal sehat, terkait untung rugi berkelahi ditinjau dari segi keamanan, ekonomis dan agama.
Predikat daerah Bima sebagai zona merah, mungkin karena tingginya intensitas konflik yang sangat tidak lucu itu. Disamping juga karena masalah-masalah lain. Pernyataan Kapolda NTB, Brigjen Pol. Drs. Umar Septono, mengenai Bima sebagai daerah yang memiliki tingkat kriminalitas tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Bimakini.com, 2017) semakin mengkonfirmasi predikat itu. Berita mengenai tawuran antar kampung sudah sedemikian parah. Yang lebih memalukan lagi saat jelang bulan suci ramadhan beberapa waktu yang lalu, sempat mengalami ketegangan antar kelompok. Aneh tapi nyata.
Sementara sebagian dari kita sibuk mengklarifikasi bahwa zona merah dilabeling oleh media massa, padahal di dunia nyata sungguh terjadi. Belum lagi “teori konspirasi” dikeluarkan di beberapa kanal media maya yang saya amati, katanya ini “didesain” oleh “orang kafir” yang ingin menghancurkan Bima. Bahkan saya pernah berdiskusi dengan seorang pemuda, yang dianggap sebagai aktivis, katanya konflik antar kelompok masyarakat di Bima ini adalah settingan aparat untuk mendapatkan proyek. Akan tetapi, menarik juga “temuan” itu kalau memang dapat dibuktikan, lalu segera laporkan ke pihak yang berwenang. Namun indikasi ke arah itu nampaknya tidak jelas buktinya, kecuali sikap apriori belaka. Proyek bersama kita saat ini dan di masa depan adalah bagaimana menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sependek jangkauan saya, biasanya kebanyakan konflik pecah bermula dari soal sepele, misalnya gegara main bola, alih-alih berjiwa sportif, malahan mirip sebagian politisi – siap menang tapi tidak siap kalah, lalu bertengkar melibatkan seteru dua desa asal masing-masing pemain (bola), berlanjut saling berhadap-hadapan. Biasanya juga berawal dari suatu hiburan di malam hari, berpesta pora, tetiba muncul berita lagi antar dua desa terlibat bentrokan. Ada juga lantaran seorang petani yang tidak tahu apa-apa, lalu dikriminalisasi sebagai dukun santet, lalu terjadilah main hakim sendiri, tanpa menganalisis secara objektif apa adanya. Karena itulah, betapa pentingnya menyerahkan suatu persoalan itu ke para ahli yang berkompeten, bukan minta arahan “dukun”, yang kemudian menuduh si anu dan si una begini dan begitu. Ini soal pendidikan yang belum benar-benar memberikan kesadaran kepada masyarakat.
Peredaran hoax juga menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Karena itu, masyarakat jangan langsung percaya info yang ada di dunia maya, perlu kritisisme dalam membaca dan menyaring informasi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan (dalam tempo.co,22 Agustus 2017), media siber punya pengaruh yang besar di masyarakat, terutama dalam membendung hoax. Karena itu dia berharap media siber menyajikan berita yang benar, objektif, dan netral. “Kita memberikan informasi. Kalau Anda kasih hoax, maka terjadilah perkelahian di masyarakat,” kata Kalla saat membuka Kongres I Asosiasi Media Siber Indonesia di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2017. Kalla mencontohkan terjadinya konflik di masyarakat yang disebabkan beredarnya hoax. Misalnya konflik di Bima beberapa tahun lalu. Konflik tersebut membuat rumah-rumah dibakar karena kemarahan warga setelah tersebar berita bohong soal ada anak yang diperkosa. “Padahal dicari yang diperkosa yang mana, tidak ada, tapi puluhan rumah sudah terbakar,” kata Kalla.
Kita sama-sama bersepakat bahwa citra daerah yang dirusak sendiri oleh penghuninya akan merugikan orang Bima secara umum terkait kenyamanan hidup, kepercayaan investor dan stabilitas keamanan wilayah secara umum. Ketidakamanan akan berimbas pada macetnya roda ekonomi dan indeks kebahagiaan. Memang tidak semua orang Bima berperilaku jahat, bahkan yang baik-baik masih banyak. Akan tetapi, ibarat orang sakit – harus mengakui terus terang penyakitnya terlebih dahulu, baru diobati. Jangan sampai sel-sel yang sakit itu menggerogoti seluruh tubuh. Begitu pula dengan fenomena konflik antar kampung di Tanah Bima. Perlu diatasi secara serius, sistematis dan berkelanjutan. Jangan sampai perang saudara di suatu kecamatan tertentu, berefek domino lalu melanjar ke kawasan lain yang semula damai-damai saja.
Perlu perjuangan ekstra untuk mengembalikan citra Bima yang lebih Islami, madani dan bermartabat. Di era digital ini, betapa informasi semeter bisa memanjang jadi berkilo-kilo meter. Kita wajib secara berjama’ah mempromosikan Bima yang cinta damai, sembari menekan dan mencegah sedini mungkin ketegangan di arus bawah. Apalagi masing-masing desa ada Polmas/Babinkamtibmas dan Babinsa. Koordinasi yang terjalin antara unik Polsek di seluruh wilayah Kabupaten maupun Kota Bima, setidaknya bisa meredam konflik dan kekerasan di akar rumput. Tapi harus serius dan bertindak cepat dengan tetap menghormati hak asasi manusia, non-diskriminasi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Begitu pula para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat perlu memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang indahnya cinta damai, jeleknya bermain kekerasan. Mendingan urus bisnis, misalnya dagang bawang merah, atau bertani dan fokus dengan profesi masing-masing. Dan pemerintah daerah wajib mendukung pemberdayaan masyarakat agar energi yang ada dialihkan ke hal-hal produktif, dan masyarakat pula harus sadar, sama-sama membangun Dana Mbojo bersama pemerintah. Lain kali konflik antar kampung jangan dibudayakan lagi, cukup membudayakan sinergi dan kerjasama yang saling mendukung satu sama lain menuju Bumi Maja Labo Dahu yang benar-benar damai.
Oleh: Mawardin Sidik
Editor mbojoklopedia
Pendiri lembaga riset demokrasi dan perdamaian (REDAM) NTB
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar