Kita pun dapat menikmati kemerdekaan hingga akhir ini. Ini semua berkat lakon para “mutiara” pembebas di pelbagai daerah atau suku bangsa di bumi nusantara. Saatnya kita terus menggali jejak perjuangan mereka. Di hadapan zaman yang kian kompleks akhir-akhir ini, memotret kisah kepahlawanan para aktor pergerakan kemerdekaan pada masa tertentu, tetaplah relevan untuk dibumikan kembali agar kemerdekaan seutuhnya dapat kita rebut. Kali ini, saya akan membahas era penjajahan di Bima, daerah yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa (NTB). Dan bagaimana pula pergulatan para pejuang kemerdekaan melawan penjajah, hingga rakyatnya bisa menghirup udara kebebasan setelah sekian lama terpenjara dalam perbudakan kolonialistik.
Pelucutan senjata tentara jepang oleh tentara Australia di Lawata - Bima, pada 17 Oktober 1945 (sumber : AWM Copyright) |
Selain Belanda, kaum kolonialis yang menjajah Bima adalah Jepang. Dalam perang dunia II, Belanda di pihak yang kalah dan Jepang sebaagai pihak pemenang, pertama kali mendarat di Bima pada tanggal 17 Juli 1942. Sejak itu harapan baru untuk hidup lebih baik sangat didambakan dengan semboyan “Nippon Indonesia sama-sama”. Rupanya semboyan itu merupakan tipu muslihat baru dari Jepang yang menganggap orang Indonesia sebagai saudara tua. Pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun membawa orang Bima ke keadaan lebih menderita.
Dimana-mana di tanah Bima terjadi perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang yang ada di Bima. Seperti ditulis Djamaluddin Sahidu(2004:48-49), pemuda-pemuda Bima merampas senjata tentara Dai Nippon yang ada di gudang Nggaro Lo di Raba, di Sape dan juga di beberapa tempat lain termasuk di KaE dan Bolo. Perlawanan rakyat belum terkoordinir dengan baik sehingga sering salah paham baik antara sesama pemuda rakyat Bima maupun antara eks heiho dengan tentara Nippon. Kesalahan pertama terjadi pada tempat penghadangan di jembatan dua lubang di Wawo, dimana seorang eks heiho yang bernama Hasan Usman ditangkap oleh tentara Dai Nippon. Ketika ada sebuah truk yang mengangkut tentara dai nippon menuju Sape, sekelompok pemuda dari Wawo menghadang truk tersebut. Beberapa pemuda merasa tidak mampu melawan tentara Dai Nippon yang sebanyak itu mereka bersembunyi kecuali Hasan Usman mengira tentara Dai Nippon berada di pihak pemuda rakyat Bima. Pemuda Hasan Usman disiksa, dipepopori kepalanya.
Sementara itu, menurut Sahidu (2004), sekelompok orang-orang tua kampung Maria menghadang truk tentara Dai Nippon tersebut di depan kampung Oi Wobo. Ompu Kari dengan gagah beraninya menghadang truk tersebut. Tentara Dai Nippon mengarahkan laras senapannya kepada ompu Kari. Bayonet terhunus, dipasang dan ditusukkan ke dada Ompu Kari. Ompu Kari terkenal kebal. Senapan tentara Nippon tidak dapat meletus.
Sebagai catatan, kisah kekebalan Ompu Kari dan kawan-kawan, tak harus membuat kita “terlena”, dan terseret dalam arus wacana berbau mistik dan klenik. Kita tetap rasional dan kritis dalam menatap wajah sejarah. Fokus pada strategi perjuangannya berbasis kalkulasi logis, dan spirit etis maupun moral yang melandasi niat suci dan pergerakan kemerdekaannya. Tapi sebagai khazanah sejarah, yang umumnya dalam warna penulisan sejarah nusantara di zaman revolusi fisik, hal-hal beraroma mistis memang tak terhindarkan. Kalau begitu, biarkan saja sebagai bumbupenyedap cita rasa sejarah. Lalu kita tempatkan secara proporsional dan objektif.
Bagaimana gejolak perlawanan rakyat di Tente-Bima?Menurut catatan Muhammad Zulkarnain dalam bukunya Rangkaian Melati Kehidupan H.M. Thayib Abdullah, di mana tentara Jepang dilucuti senjatanya oleh lasykar Angkatan Pemuda Indonesia (API). Peristiwa ini sebenarnya bukanlah sekadar peristiwa daerah (lokal), tetapi peristiwa tersebut adalah peristiwa nasional, karena perstiwa tersebut adalah “rentetan peristiwa di seluruh tanah air”, yang seharusnya membuat bangga bahwa orang-orang Bima pun tidak absen dari peristiwa penting tersebut. Dalam konteks seperti inilah, maka pada tanggal 26 Desember 1945 peristiwa perebutan senjata di Tente Bima tersebut meletus, seperti dikisahkan M. Thayib Abdullah dalam bukunya Kilas Balik Perjuangan Bersenjata Phase II di Bima tahun 1945-1950, seperti dikutip Zulkarnain (1997:92-97) menyitirKisah Seorang Pahlawan Bima dalam Revolusi 1945; bagian V Pelucutan Senjata – Peristiwa Tente 1945, yang bunyinya:
Pertempuran Tente ini terjadi pada tanggal 26 Desember 1945 pagi hari dipimpin langsung oleh komandan lasykar API daerah Bima, M. Thayib Abdullah. Sekitar ± 500 orang anggota lasykar API daerah KaE dibawah komando Aman Yusuf, Yunnus Husen, Taamin Bakar, Abdul Rachman, Ibrahim Usman dan kawan-kawan dibantu oleh barisan suka rela rakyat tua muda, bahkan anak-anak dengan bersenjatakan keris, parang, golok, dan tombak serta bambu runcing rakyat Tente ini harus berhadapan dengan 1 kompi tentara Jepang.
Markas Jepang yang terletak di tengah daerah pertokoan di depan pasar Tente telah terkepung rapat dari segala jurusan. Daerah pertahanan Jepang meliputi jalan raya sepanjang 300 m, mulai dari jembatan Tente di ujung pertokoan sampai di samping pertigaan jalan ke Cenggu di depan kantor Jeneli Woha. Pada pos pertama berdiri beberapa prajurit Jepang dengan senjata senapan mesin yang moncongnya ditujukan kepada para anggota kelasykaran dan masyarakat yang mengepungnya.
Kira-kira jam 8 pagi, markas API daerah Bima di Raba mendapat telpon dari Sri Sultan Bima memberitahukan bahwa pemuda-pemuda lasykar API Tente sedang bersiap-siap menggempur markas Jepang di Tente. Sri Sultan meminta agar M. Thayib Abdullah segera kesana untuk mencegah pertempuran, karena diperhitungkan akan meminta banyak korban jiwa. Beliau bahkan berkenan meminjamkan mobilnya kendaraan pribadi, sebuah sedan putih untuk dipergunakan secara cepat ke Tente. M. Thayyib Abdullah ditemani oleh tureli Nggampo dan Nazaruddin, adik Sri Sultan sendiri. Sebelum berangkat pun, M. Thayyib Abdullah sudah mendapat telpon dari Jendral Tanaka, panglima tentara Jepang di Sumbawa, mengonfirmasikan hal ini. Tanaka san membenarkan informasi tersebut dan mengharapkan M. Thayyib Abdullah dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah. Yang menjadi masalah dalam hal ini ialah bahwa pejuang-pejuang sangat memerlukan senjata. Saat tersebut sudah bulan desember tua, berarti semua pertempuran antar Badan Keamanan Rakyat (BKR) melawan serdadu-serdadu Belanda yang membonceng sekutu baik di Jakarta, Semarang maupun Surabaya dan lain-lain terutama telah terjadi dan beritanya telah sangat meluas, pertempuran 10 November umpamanya. Siapa tahu teriakan Bung Tomo dalam membakar semangat arek-arek Suroboyo yang tergabung dalam lasykar Hizbullah, Sabilillah disamping BKR-BKR itu sendiri sudah tertangkap juga oleh pemilik radio di Bima. Let.Jen. Sir Christison sendiri belakangan akhirnya menyesal bahwa ia diam-diam dibodohi Belanda.
Sekutu banyak mendapat kesulitan dari pemuda Indonesia gara-gara provokasi dan overachting Indo-Indo Belanda yang membonceng pasukannya turun (mendarat) di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Brig.jen Mallaby pun akhirnya tewas, sebuah tragedi yang paling memilukan, sebab dalam melawan pasukan-pasukan Jepang yang begitu mahir perang pun, Inggris tidak sampai kehilangan seorang jendralnya. Disini – di Tente ini – Jepang malahan bersikeras kepala, tidak mau menyerahkan senjatanya, dan lebih memilih bertempur dengan massa pemuda. Bila dibiarkan maka bisa dipastikan semua Jepang-Jepang tersebut akan mati terbunuh. Meski massa rakyat pun akan jatuh korban yang lebih banyak lagi karena disapu mitraliyur dan Tekidanto mereka. M. Thayyib Abdullah bercerita selanjutnya :
... Sambil berserah diri kepada Allah, bersenjatakan hanya sebuah revolver atau pistol, saya (dibaca: M. Thayib Abdullah) bersama bapak Nazaruddin berangkat ke Tente mempergunakan sedan putih milik Sri Sultan. Setelah melewati tiga pos penjagaan lasykar API, yang masing-masing terletak di (1) pertigaan jalan Talabiu (2) di muka kampung Rabakodo dan (3) di Tente, barulah kami berhasil mencapai daerah ujung setelah utara pos penjagaan Jepang. Sudah tentu kami saling melihat, saling waspada dan saling curiga. Suasana sangat mencekam. Baik kawan maupun lawan saling erat menggenggam senjatanya masing-masing, siap untuk dipergunakan. Kami berdua yaitu M. Thayib Abdullah dan Nazarudin melewati pos-pos Jepang tersebut, menuju kantor Jeneli Woha, M. Tahir. Kami diterima di pekarangan kantor oleh Jeneli (camat) dan Taico (Komandan Kompi) Jepang yang sedang siaga ready combat. Pembicaraan kilat segera berlangsung di pekarangan kantor tersebut antara kami dan sang taico.
(TA) : Apakah saudara Taico ingin bertempur melawan lasykar API dan rakyat?
(KK) : Tidak.
(TA) : Kalau begitu serahkanlah senjata tuan-tuan kepada kami.
(KK): Tidak dapat Ia! Semua senjata sudah didaftar dan harus diserahkan kepada
pasukan-pasukan Australia.
(TA) : Kalau begitu ya, kita harus bertempur Ia? dan saya akan segera memberi
komando kepada lasykar-lasykar dan rakyat untuk menyerbu. Tuan lihat Ia ....,
begitu banyaknya musuh yang akan harus tuan hadapi, sudah pasti tidak akan
ada diantara tuan-tuan yang akan tetap hidup ne!Komandan kompi tersebut
diam tercenung, saya (M. Thayib Abdullah) meneruskan pembicaraan :
(TA) : Kami hanya menginginkan senjata, bukan ingin membunuh tuan-tuan Senjata-
senjata tersebut akan kami perlukan untuk mempertahankan kemerdekaan
kami. Urusan Australia adalah urusan kami. Akan kami beritahukan Australia
bahwa tuan-tuan telah kami kalahkan dalam tempuran dan senjata-senjata tuan
kami rampas. Bagaimana laa ....? Setuju kha .....? Tuan-tuan harus segera
menjawab,sebab waktu na sudah terlalu sempit !! Kalau tuan-tuan menyerah
saya menjaminkeselamatan tuan-tuan. Tidak akan ada seorang lasykar atau
rakyat yang mengganggu tuan-tuan, apalagi membunuhnya. Bagaimana kha
....? Jawablah segera !!
Komandan Kompi Jepang tersebut meneteskan air mata merasa sangat terharu akan penyelesaian seorang pribumi yang kental keislamannya ini, betapa tidak aneka siksaan sudah mereka lakukan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya, tetapi di saat-saat kekalahan begini, meskipun wajah komandan API keras merah padam, tetapi tidak terbersit sama sekali hawa pembunuhan, balas dendam. Ia malahan menjamin keselamatannya. Alangkah mulianya jiwa orang ini, komandan kompi tersebut mengetahui bahwa M. Thayyib Abdullah adalah seorang guru agama di sebuah sekolah agama. (Untuk diketahui bangsa Jepang sama dengan bangsa Cina sangat menghormati yang tiga : Leluhur, Orang tua dan Guru). Itulah yang kemudian dengan suara terputus-putus akhirnya komandan tersebut berkata : “kami menyerah” !
Kami percaya kepada Sensei (guru) !!
M. Thayyib Abdullah lalu mengumumkan kepada semua anggota lasykar pemuda dan rakyat bahwa Bala Tentara Dai Nipon telah menyerah. Orang bersorak-sorai gegap gempita tetapi mereka patuh untuk tidak kelepasan emosi berbuat yang tidak-tidak. Orang-orang berteriak-teriak minta kesempatan untuk membalas dendam sakit hati mereka selama 3 tahun dijajah Jepang, tetapi M. Thayyib Abdullah menolak tegas-tegas sambil memperingatkan bahwa menurut ajaran Islam bahwa musuh yang telah menyerah harus dijamin keamanannya dan keselamatan jiwanya.
Kepiawaian diplomatis M. Thayyib Abdullah dalam menghadapi pasukan Jepang memang sangat mengagumkan. Dibalik ketegasannya, terpancar kesejukan yang kental dengan spiritualitas Islam. Tak pelak, senjata Tentara Kerajaan Nippon pun berhasil dilucuti tanpa pertumpahan darah bahkan orang Jepang sendiri merasa terharu dan mengakui keluhuran budi M. Thayyib Abdullah. Hal ini berkat prinsip-prinsip Islam yang diamalkan beliau,sekalipun dalam situasi perang sehingga membuat penjajah Jepang tak berkutik. Komitmen ideologis yang berwatak Islam berlanjut pula dalam lakon politiknya sebagai anggota DPR RI mewakili Partai Masyumi. Tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Muhammadiyah Bima ini dikenal sederhana, berintegritas dan memberikan inspirasi keteladanan yang baik bagi umat Islam, dan rakyat Indonesia umumnya, terkhusus orang Bima untuk berjuang dengan semangat patriotik membela umat, bangsa dan negara.
Bahan Bacaan:
- Sahidu, Djamaluddin. 2008. Kampung Orang Bima. Mataram : Studio 15.
- Zulkarnain, Muhammad. 1997. Rangkaian Melati Kehidupan H.M. Thayib Abdullah. Jakarta : Penerbit Lewa Mori.
Oleh : Mawardin Sidik
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya Bima, serta editor mbojoklopedia.com
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar