Memasuki awal abad 19 masehi, konsumsi opium di pulau Sumbawa meningkat dan menjadi gaya hidup saat itu. Memakai opium atau candu adalah tren para pembesar istana saat itu, gelombang opium tidak saja masuk pada lingkungan istana, juga menjadi tren pada lingkungan rakyat kecil. Pengguna opium menyebar dengan cepat di pulau Sumbawa, karena pemasaran dan stok opium yang bergelimpangan, tidak lain di kendalikan oleh para sultan saat itu. Mulai dari kendali harga hingga kendali stok (persediaan), semua di monopoli oleh sultan.
Sultan melakukan kerja sama perdagangan dengan importir yang di rekomendasikan oleh Hindia Belanda. Meluasnya penjualan opium di pulau Sumbawa melalui jalur Surabaya, Makassar dan Bali. Tahun 1833 hingga 1841 perdagangan opium meluas kedaerah luar jawa dan Bali, dalam laporan Van den Broek bahwa Raja Karang Asem mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan opium. Dekatnya jarak antara Bali dengan pulau Sumbawa, merupakan jalur yang terdekat dan mudah untuk masuknya Opium di Bima dan Sumbawa selain Makassar, yang dibawa oleh para Pachter (agen) yang selalu dari pedagang Cina.
Pengguna Opium di batavia sekitar tahun 1860 (woodbury & Page). |
Opium menjadi bagian komoditi yang sangat mahal pada paruh abad 19 masehi, pundi pundi kekayaan para sultan di pulau Sumbawa juga income dari opium. Penghasilan atau perdagangan sultan Sumbawa bukan hanya peroleh dari hasil lahan pertanian milik sultan dan dari pajak (belasting) baik pajak hasil bumi maupun pajak perdagangan, terutama perdagangan ternak dan opium, tulis Tawaluddin Haris, dalam jurnalnya Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII – XX.
Monopoli candu atau opium sultan Sumbawa, sangat meraup keuntungan besar. Seseorang dapat menjual opium secara kecil-kecilan jika opium itu dibeli dari orang-orang yang memiliki koneksi bisnis dengan sultan Sumbawa. Dengan catatan mereka juga harus disertai izin dagang dengan membayar lima dolar (Spanyol) kepada sultan. Opium masuk ke wilayah kesultanan Sumbawa dibeli oleh para pangeran dari Singapura sebesar 4 peti setiap tahunnya dengan harga sebesar f 1.750. (Parimartha : 311-312 : 2002).
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan opium mencapai f 1.250 per peti. Keuntungan total yang diperoleh sultan jika membeli 4 peti setiap tahun berjumlah f 5.000. keuntungan yang sangat fantastis didapat oleh sultan Sumbawa dari perdagangan candu atau opium tersebut, pernah di Sumbawa ada larangan peredaran opium setelah letusan Tambora dari raja untuk penduduknya menghisap candu. Meskipun dilarang, arus opium tetap mengalir ke Sumbawa hingga beberapa dekade lamanya peredaran.
Juga hal yang sama tentang Sultan Bima dicatat oleh Zolinger tahun 1847 ketika dia berkunjung di Bima. dalam catatan perjalanan J. A Muller tahun 1837, ketika ia datang di Bima, disambut oleh Sultan Bima dengan baik. Atas permintaan Steins (wakil pemerintah Belanda), Sultan Bima memberikan kepada Muller uang 1.000 Dollar Spanyol dan 5 bal opium. Selain dari Lombok, opium juga dimasukkan dari Makassar. Penggunaan opium di Bima dalam setahun (1847) ada sekitar 160 bal atau 4 peti. Disini Sultan memegang hak penuh monopoli atas perdagangan opium (Veth : 164 : 1855).
Gencarnya peredaran opium di pulau Sumbawa terlebih Bima pada tahun 1812 yang dapat dilihat dari catatan perjalanan Levyshon Norman dalam De Britsche heerschappij over Java en onderhoorigheden (1811-1816.) tahun 1821 opium semakin marak dan terang terangan di ceritakn oleh C.G Reinwardt ketika berkunjung pada tahun yang sama, Menurut cerita Residen, Sultan (Ismail) sendiri seorang yang sangat rendah budi dan akalnya, yang menghabiskan seluruh waktunya dengan menghisap madat (opium) dan tidur, tulis Reinwardt.
Kecanduan opium semakin merajalela diberbagai kalangan, tak memandang kalangan atas maupun bawah, dapat dipastikan dari penyebaran opium tahun 1820-an hingga 1870-an terus tersebar dan diminati. Sultan Bima membeli opium dalam jumlah besar, kemudian menjualnya lagi kepada para pembesar kerajaan setelah kepala bawahan menjualnya lagi kepada orang yang memerlukannya, tulis Zolinger yang dikutip oleh Parimartha. Tahun 1871 keuntugan Sultan mencapai fl. 500 dari hasil perdagangan opium (Nota van toelicting, Van Braam Morris).
Penyebaran opium yang bebas di kesultanan Bima juga mempengaruhi tetangganya kesultanan Dompu. Para bandar opium memasok stok untuk para pembesar di Dompu. Akibat penggunaa opium ini Dompu menjadi sangat miskin dan menyedihkan (Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ Volume 35 : 1853).
Keadaan kesultanan Dompu memburuk akibat Opium, tahun 1859 syekh Abdul Ghani al-Bimawy pulang dari Mekkah. Melihat keadaan Dompu yang memburuk, Syekh menginisiasi peraturan kesultanan Dompu untuk melarang keras penggunaan dan penyebaran opium. Perang candu yang semakin membunuh para pemakainya dirasakan oleh Sultan Dompu, karena dia menganggap candu sangat merugikan dan membuat orang bermalas-malasan. Hingga dapat mengundang kriminalitas pada kerajaannya, Sebelumnya pengguna candu hanya dilakukan oleh para pangeran muda.
Upaya Syekh Abdul Ghani dan sultan Dompu memerangi opium membuahkan hasil yang baik. Dalam catatan Van Hoevell seorang pendeta dan negawaran asal Belanda di tahun 1859, dia menilai bagaimana hebatnya Sultan Dompu memagari kerajaannya dari pengaruh candu saat itu. “Sultan Dompu sangat rajin menjaga dan melarang opium di negaranya” tulisnya dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie.
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar