ADS

Pada hari Senin 26 Desember, perkara dimulai antara Ama Smai dan Patarasa (kepala kampung) Wera mengenai laporan kelakuan Ama Smai yang diluar ketentuan adat, membuat Jeneli Sape geram dan mengirim Patarasa Wera dan pejabat lokalnya La Wahe, tanpa ada sepatah kata Patarasa Wera menampar dan menghina Ama Smai dihadapan penduduk, merasa malu, malamnya Ama Smai ingin mengajak duel dan bertarung dengan Patarasa, akhirnya penikaman dengan tombak terjadi hingga Patarasa Wera meninggal dunia pada malam itu. Di kediamanan Asisten Residen Bima Meneer Van Driest di Raba sedang diadakan perjamuan malam natal bersama para pejabat kesultanan. Jeneli Sape menelpon Asisten Residen untuk mengabarkan bahwa keadaan di sape sedang mengalami kerusuhan yang sangat genting.

Jeneli Sape melaporkan bahwa kerusuhan di picu atas pembunuhan Patarasa Wera oleh Dole Ama Smai, pasukan Veldpolitie (polisi) dikerahkan menuju Sape malam itu juga untuk menangkap pelakunya. Satu pleton pasukan Veldpolitie diberangkatkan pada malam itu juga. Sesampai di Sape, Jeneli Sape sedang menyuruh Ama Samai untuk menyerah dan berhenti membuat onar. 

Foto pasukan KNIL (Sumber : Woodbury & Page)

Dipimpin oleh Jeneli, 500 orang tergabung dalam pasukan itu, kemudian pergi ke tempat Ama Smai berada, ada perintah untuk menangkap pembuat onar itu hidup atau mati. Setelah perbincangan Ama Smai dan Jeneli, tiba-tiba Ama Smai mulai menari dan berlari seolah-olah dirasuki setan dan mencari di antara mereka yang hadir untuk mencari orang yang telah ikut menghinanya (De Sumatra Bode, 1933).

Karena emosi Ama Smai tidak bisa dipadamkan, akhirnya Jeneli mengirim Bumi Baralau yang layak secara adat untuk kompromi dengan Ama Smai. Bumi Baralau ini dikenal sebagai orang yang gagah, dan memang pernah berhubungan baik dengan Ama Smai. Lalu, dihadirkan seorang saksi dan penengah masalah bernama La Wahe, yang juga tahu awal perkara sebagai pemangku adat Sape. Kompromi tidak membuahkan hasil dan berakhir dengan perkelahian antara Bumi Baralau dan Ama Smai.

Terjadi duel sengit, Bumi Baralau mulai menembaki Ama Smai dengan senapan laras ganda, namun tidak membuahkan hasil. Perkelahian pun berlanjut dengan duel keris, yang berakhir dengan kekalahan Bumi Baralau dengan luka parah di bagian kanan. Akibat luka yang sangat parah yang diderita Bumi Baralau meninggal pada hari Tahun Baru. Semua orang terkejut Bumi baralau meninggal (De Locomotief Blaad, 1933).

Semua orang mengatakan bahwa Ama Smai mempunyai ilmu kebal, Jeneli Sape mengarahkan semua pasukannya untuk mengumpulkan senapan dan berbaris pada posisi menembak, kemudian perintah menembak diteriakkan oleh Jeneli Sape terhadap Ama Smai, sekitar 60 peluru telah ditembakkan namun tanpa ada hasil, keadaan mulai diluar kontrol Jeneli, dan suasana desa terlihat suram. Semua pasukan tidak berani menyerang Ama Smai meskipun hampir semua anak buahnya telah memegang tombak-tombak. 

Semua orang mulai gelisah dan satu sama lainnya pasukan Jeneli berbisik-bisik bahwa Ama Smai itu kebal. Sementara itu Jeneli menelepon lagi ke Raba, meminta bantuan militer. Pada pukul tujuh pagi, kepala pemerintahan lokal, kontroler Meneer Vlaardingen, dan didampingi oleh satu setengah brigade pasukan, di bawah komando seorang madura bernama Sersan Slamet, berangkat dengan empat mobil menuju Sape, juga dalam rombongan pasukan turut ikut seorang Belanda bernama dokter Valkenaar untuk memberikan bantuan medis. 

Setelah tiba di Sape pada malam hari jam setengah delapan di tempat kejadian. Tanpa ada perundingan lagi, Jeneli memerintahkan agar Ama Smai ditembak, karena dia terus melawan, Kontroler memerintahkan pasukan untuk menangkapnya hidup-hidup. Digaris depan para tentara berbaris membentuk segi empat. Di belakang pasukan berdiri anggota ketiga dari pihak Kesultanan Bima, yaitu Raja Sakuru Abdul Aziz dengan dokter Valkenaar dan mantrinya. Dan barisan terakhir Raja Bicara Abdul Hamid juga turut hadir untuk melihat kejadian langsung pertempuran melawan seorang yang dianggap kebal itu.

Kendala pasukan untuk mengakhiri pertempuran melawan Ama Smai, karena banyaknya penduduk yang berkerumun berdiri untuk menyaksikan kejadian tersebut. Sersan Slamet harus mencari celah untuk menembak pembuat onar agar tembakan tidak mengenai kerumunan penduduk. Lalu seorang prajurit bernama Noiya menemukan tempat yang pas untuk menghujani tembakan pada Ama Smai.

Hari semakin siang, keadaan semakin suram, kekebalan Dole Ama Smai tersiar kesemua warga Sape hingga di Sultan. Belum mampu dilumpuhkan, Sersan Slamet sambil bernegosiasi dengan Ama Smai juga menyuruh pasukan untuk bersiap pada posisi masing-masing. Setelah semua pasukannya sudah bersiap dalam posisi empat sudut, Sersan Slamet mulai menyuruh Ama Smai itu untuk meletakkan tangannya dan menyerah. 

Sambil menari dan berteriak, Ama Smai kemudian bersiap untuk menyerang. Namun dalam barisan terjadi percecokan para prajurit mengklaim bahwa tidak ada perintah untuk ditembak, tetapi ditangkap hidup-hidup. Namun, Kontroler mengklaim sebaliknya. Keberuntungan berpihak pada Ama Smai, sehingga dengan mudahnya dia melompat pergi dan berlindung di balik dinding batu.

Sersan Slamet harus mendekati dinding batu tempat Ama Smai berlindung, Sersan meletakkan barang dan senjatanya ditanah dan berusaha untuk bernegosiasi dan menangkapnya tanpa menggunakan senjata. Ia memasukkan peluru ke dalam saku. Sementara itu, atas perintah komandan mereka, para prajurit lainnya juga mendekati pria itu. Prajurit Noiya meminta untuk maju dalam formasi yang telah diubah, lagi-lagi tidak berhasil. Tiba-tiba Ama Smai berdiri dari balik dinding batu dan tanpa gentar menyerang para prajurit sambil meneriakkan kata-kata "Bismillah", "Bismillah" (De Sumatra Bode, 1933). 

Perintah menembakpun terjadi, Ama Smai langsung terkena tembakan di tiga tempat dan menerima luka kecil di punggung, luka sobek di samping dan satu tembakan penuh di lengan kanannya, yang menyebabkan lengannya hancur total dan dia harus memotong sendiri satu lengan di sisinya, Namun dalam keadaan terluka parah dan hanya dengan tombak dan satu tangan, ia menyerbu ke arah pohon di belakang tempat Sersan Slamet dan kedua prajuritnya berdiri, alih-alih kedua prajuritnya maju untuk menangkap pria itu, sang komandan justru meninggalkan posisinya dan pergi menemui Ama Smai.

Sayangnya, Sersan Slamet terjatuh saat berusaha menghindari tusukan tombak dan menerima tiga tusukan secara beruntun. Dua luka tusuk yang tidak berbahaya di bagian paha dan satu luka mematikan di bagian perut. Ama Smai terjatuh dan satu tembakan dari arah mobil pasukan itu berhasil mengenai dan mematikan di bagian dada Ama Smai. Setelah kerusuhan reda dan Ama Smai meninggal ditempat. Sersan Slamet segera di bawa karena luka yang sangat serius.

Pada sore hari yang sama, saat operasi berlangsung, Sersan Slamet tewas. Kapten, komandan detasemen di Sumbawa Besar, diberitahu tentang peristiwa itu. Namun, pemberitahuan kematian itu belum sampai di telinga Komandan Detasemen, hingga mengira bahwa Sersan Slamet belum mati dan pembuat rusuh belum dilumpuhkan, ia mengirim satu brigade pasukan pada hari yang sama dengan "Van Riebeeck" di bawah komando Sersan Mayor Graven. Setibanya di Raba, penyelidikan militer segera dimulai mengenai perkara yang terjadi di bawah pimpinan sersan mayor Graven, sementara upacara sederhana dibuat untuk menguburkan Sersan Slamet dengan penghormatan secara diam-diam.


Oleh : Fahrurizki
Pengamat Sejarah & Budaya Bima



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top