Bulan April seluruh petani akan melakukan panen raya padi mereka, bahwa tahun ini mereka sudah memastikan panen akan berjalan lancar. Orang-orang sudah merencanakan akan mengisi penuh lumbung-lumbung padi mereka segera terisi, karena tahun kemarin belum pernah sawah subur seperti tahun ini, bahkan begitu indah dan hijau. Panen kali ini akan dihadiri oleh Wakil Gubernur (Gezaghebber) Hindia Belanda, Tuan L.A Brugman, yang sudah mengabarkan sebelumnya akan hadir.
Namun tahun ini rencana panen raya tidak berjalan dengan baik, harapan mereka akan lumbung yang terisi akan segera sirna dan menjadi tahun yang sangat horor. Karena curah hujan pada bulan Maret dan April intensitasnya sangat tinggi. Tepatnya pada tanggal 28 April sore hari, hujan yang sangat lebat tidak pernah diperkirakan turun hingga merugikan sawah-sawah penduduk. Semakin malam hujan semakin lebat, suara guntur dibalik awan menggelegar di langit.
Lukisan Raden Saleh dengan judul A Flood on Java 1865-1876 |
Diikuti oleh kedatangan angin yang bertiup sangat kencang hingga terjadi badai yang sangat besar membuat penduduk seisi tanah Bima ketakutan. Suara badai dan petir bagaikan neraka sepertinya Bima akan hancur dan lenyap. Hujan terus turun berturut-turut selama empat hingga lima hari lamanya. Setiap malam suara petir dan deru angin membuat orang-orang tidak bisa tidur, bagaikan kebisingan suara-suara para hantu, mereka baru bisa tidur saat fajar mulai terbit. Namun ujian bukan hanya itu, pagi hari tiba-tiba banjir sudah ada depan mata, semua orang mulai panik.
Banjir datang dengan arus yang begitu Kuat, bahkan jembatan besi di depan rumah Wakil Gubernur itu sampai putus dan tersapu. Tidak hanya itu, semua Jalan-jalan yang indah dan baru dibangun di Kota Raba rusak parah, terendam air sejak hari pertama banjir semua jalan tergenang dan tertutup. Sungai-sungai telah meluap di sepanjang bibir seluruh sungai, Juga di daerah pegunungan turun hujan lebat, sehingga daerah yang lebih rendah di wilayah Bara dan Nae yang lebih rendah menerima buangan air penuh hujan dari sana. Dan angin bertiup sangat kencang beberapa rumah di pedalaman, seolah-olah terbuat dari kertas, hancur berantakan pohon-pohon besar diterbangkan dan terbang di udara.
Areal Laut juga terlihat angker dan matahari tidak pernah muncul beberapa hari. Semua kapal di pelabuhan juga terkena dampak banjir, beberapa karam dan terjangan kayu-kayu besar dari banjir menghempas lambung kapal, juga beberapa kapal yang lewat untungnya berhasil selamat. Beberapa catatan laporan dari awak kapal yang karam di teluk Bima menceritakan bagaimana kondisi akhir April yang sangat menyeramkan itu, mereka mengisahkan sebagai berikut :
Banjir mulai terjadi pada tanggal 29 April, “Sore hari hingga jam 4 pagi. Ketika banjir pertama sudah selesai dan air sudah surut, Kemudian disusul banjir yang jauh lebih besar pada malam hari tanggal 30 April sampai dengan tanggal 1 Mei sekitar pukul jam 1 pagi dengan hujan lebat yang terus menerus dan disertai badai dari arah barat laut, yang berlangsung pada tanggal 1 hingga 3 Mei.
Siapa yang menyangka, bahkan akhir di bulan April, hujan deras, angin dan banjir, kami benar-benar mengalami waktu yang sulit, seperti yang dikatakan oleh penduduk Bima “Dunia Mau Kiamat”. Sejak peristiwa awal dari hal tersebut telah kita alami di sini, banjir dan badai telah melanda Pulau ini, dari tanggal 29 April hingga 2 Mei. Banjir menyebabkan kerusakan yang sangat parah bagi penduduk Bima, tetapi lebih dari itu penduduk pedalaman, yang mungkin akibatnya bisa terjadi kelaparan. Sulit untuk memberikan gambaran yang sebenarnya terjadi. Selama banjir, semuanya wilayah kebanjiran. Kami tidak bisa membantu, semua orang harus menjaga Keselamatannya sendiri. Saya tidak melebih-lebihkan ketika saya melaporkan bahwa setelah banjir bandang, seluruh Bima menjadi satu genangan air. Semua jalan-jalan tertutup dan tidak terlihat hingga sulit untuk melewati.(Rooterdams Niuwblads, 1898)
Wilayah istana kesultan juga tidak luput dari terjangan banjir. Dimana-mana batang pohon besar atau potongan rumah serta pagar menghalangi jalan dan lubang-lubang terbentuk sedalam 3 hingga 4 meter. Tidak ada komunikas penduduk semua lumpuh total, hampir di mana-mana ditemukan reruntuhan rumah tanpa atap dan bagian depan atau belakang dinding yang rusak. Tidak ada halaman yang berpagar semua luluh lantah.
Asal Usul Istilah Mbere Mpako dan Mbere Mbuda
Tidak ada wilayah Bima yang luput dari banjir, memakan banyak korban jiwa. kampung-kampung yang dulunya makmur, sebanyak 400 rumah telah lenyap. hilang, sementara pencarian terhadap 60 orang hilang. Beberapa orang nelayan yang sampannya telah rusak dan mereka sendiri bertahan dengan beberapa anggota tubuh yang patah, membawa berita yang lebih mengerikan lagi, akibat terhempas banjir banyak penyintas banjir menjadi buta hingga pincang, dari sinilah penulis berpendapat ada tradisi pengucapan orang Bima untuk banjir besar yaitu “Mbere Mpako” dan “Mbere Mbuda” yang bisa membuat korbanya jadi pincang dan buta.
Daerah terpencil Desa Sape sudah tidak ada lagi yang tersisa, air di sana bahkan telah mencapai di atas atap rumah. Dua belas kampung lainnya, yang terdiri dari terdiri dari 100 rumah, juga telah juga menghilang. Jumlah yang tenggelam lebih banyak lagi. Lebih dari 80 orang meninggal. Wilayah selatan teluk, Rasa Nggaro 37 orang meninggal, di Sila 16 orang meninggal, di Tonda 8 orang mati tenggelam. Dari 3 tempat terakhir Beberapa rumah hanyut terbawa arus, diantaranya Sila saja lebih dari 50 rumah hanyut. Sisi-sisi yang keluar dari Parado juga mengalami kerusakan besar pada tempat-tempat yang terletak di sepanjang di sepanjang sungai besar itu.
Kampung Simpasai, Sie, Waworada dan Tangga yang paling menderita. Keempat tempat ini secara kolektif telah kehilangan kurang lebih 218 rumah. Kampung Tangga saja ada 84 rumah. Sebagian besar penduduk telah mengungsi ke pegunungan dan menetap di sana untuk sementara waktu. Karena sungai-sungai di wilayah pedalaman masih penuh. Semua sumur penduduk rusak, seperti Belo dimana tiga bulan yang lalu kurang lebih 60 rumah hancur karena kebakaran, sekarang ditambah bencana banjir, kurang lebih 100 rumah lainnya hanyut, hanya menyisakan sekitar empat rumah yang tersisa dari seluruh kampung.
Kampung Sakuru juga menderita akibat banjir bandang ini, juga mengalami hal yang sama. Sekitar 10 rumah hancur dan beberapa orang meninggal. Juga di Rabakodo, lebih dari 40 rumah tersapu tetapi untungnya hanya satu orang yang meninggal.(De Nieuwe Vorstelanden, Officieel Organ van de Soloche Landhurdhers)
Mayat dan Bangkai Dimana-mana
Diperkirakan lebih dari 300 batang Pohon-pohon raksasa telah tumbang, potongan-potongan ditanah tersapu dan segala sesuatu yang tumbang telah tersapu ke laut menumpuk di teluk hingga merusak kapal-kapal yang berlabuh. Orang-orang tidak bisa atau hampir tidak bisa melangkah menggerakkan kaki merak karena banyaknya batang pohon. Dan yang lebih mengerikan lagi yaitu mayat-mayat manusia bergelimpangan diatas air, juga bangkai kuda, Sapi, dan hewan lainnya ikut mengambang diatas permukaan air. Udara Bima tercemaroleh bau menyengat mayat serta bangkai hewan.
Setelah banjir yaitu wabah penyakit pasti akan terjadi, karena Ketika matahari terbit lagi, semuanya akan menjadi bakter, semuanya akan menyebarkan bau yang sangat menyengat. Setelah banjir mungkin segala sesuatu upaya akan dilakukan untuk menghilangkan dan mengubur mayat-mayat itu. Perlahan-lahan semuanya akan pulih, tetapi kelaparan juga akan menghantui Bima, akan terjadi kesengsaraan dan lebih banyak, terutama karena hampir tidak ada Padi yang tersisa diterjang arus banjir.
Oleh : Fahrurizki
Penulis dan Pengamat Budaya Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar