ADS

Hanta Ka`pua kadang juga disebut Hanta Ua Pua adalah ritus masyarakat Bima dalam memperingati hari kelahiran atau maulid Nabi Muhammad SAW yang setiap diperingati pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Hanta Ka`pua atau sirihpuan dimana sebuah Mahligai rumah yang dinamakan Pabule dan diatasnya berdiri seorang Penghulu melayu kemudian diangkat oleh 44 orang masyarakat Bima yang dari berbagai perkampungan, symbol dari 44 masyarakat ini adalah sebuah kerjasama dalam membawa atau mengusung agama baru bersama seperti halnya “Rawi Kaboju” yaitu saling membantu untuk tujuan bersama. 

Mengusung rumah Mahligai dimulai dari kampung melayu menuju istana Sultan bersama para rombongan keluarga melayu. Sebelumnya pada 11 Rabiul Awal diadakan musyawarah besar yang dinamakan “Doho Sara” dimana seluruh majelis pejabat kesultanan duduk bersama untuk membicarakan persiapan tersebut. Kemudian malamnya akan dilakukan Dzikir Ratib dan Barjanji di teras istana Sultan (Depdikbud : 1993 : 50). Dzikir Ratib tersebut dalam awal sejarahnya diperkenalkan oleh para murid Syekh Jalaluddin Al-Aidid seorang Da’i kelana yang datang dari Sulawesi bersama kedua dato ri Bandang dan Dato ri Tiro, menuju ke Bima dalam misi penyebaran Islam.    

Perayaan Hanta Ka`pua atau Maulid Nabi Muhammad SAW di Bima (Foto : Mbojoklopedia)

Awal mula diadakannya ritus Hanta Ka`pua berawal dari komunitas masyarakat melayu yang bermukim di Sori Kempa sebelum banjir menerjang tempat tersebut. Perkampungan masyarakat melayu disebut Kampo Malaju oleh orang Bima dan orang melayu disebut Dou Malaju. Sultan Abdul khair Sirajuddin memberikan areal Sori Kempa sebagai kampong kaum melayu ketika kedatangan gelombang kedua yang terjadi paska perang Makassar dan jatuhnya Kerajaan Gowa di tangan VOC.  Akibat seringnya terjadi banjir di Sori Kempa akhirnya kampong melayu kembali menempati tanah yang awal diberikan Sultan Abdul Kahir kepada kedua Dato sebelumnya. Tempat tersebut dari nama Tolobali (sawah yang dikembalikan). Kaum melayu diberi keistimewaan oleh kesultanan yaitu bebas dari membayar pajak dan mereka bebas menjalankan hukum syariat dimana kampungnya, komunitas mereka di ketuai oleh seorang Penghulu.


Keagamaan dan seni berkembang di kampong tersebut dan menjadi pusat penyebaran Islam, oleh Penghulu melayu Maharajalelo, Johan, Iskandar dan bersama para Dato lainnya menciptakan Hanta Ua Pua untuk menjadi sebuah awal kekuatan penyebaran Islam dan perayaan  Maulid Nabi Muhammad S.A.W di Bima, tidak hanya tradisi Maulu (Maulid) seni musik dan tari juga dibawa oleh orang melayu, grup musik Ule Balang dan seni tari Lenggo yang sudah berasimiliasi dengan budaya lokal menjadi Lenggo Mbojo. Tidak hanya musik dan tari, juga aksara Bima lama diganti dengan aksara arab-melayu (Jawi) atas perintah Sultan Abdul Khair Sirajuddin sebagai sebuah langkah awal untuk intelektualitas masyarakat Bima dan agar memahami aksara Jawi yang banyak digunakan pada kitab-kitab dan mempermudah pengenalan huruf-huruf arab pada masyarakat, menurut seorang peniliti Belanda Gerret Pieter Rouffaer bahwa pengaruh Melayu dan Arab sangat kuat di Bima dengan adanya inkripsi-inskripsi arab dan melayu. buku harian istana ditulis di atas kertas, “dengan memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridlai Allahtaala”. Sejak saat itu, sebagaimana pernah terjadi di Aceh satu setengah abad sebelumnya, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, yaitu bahasa yang digunakan untuk semua dokumen tertulis, baik dokumen politik maupun sastra (Chambert Loir : 2014 : 154).

Kampo Malaju menjadi pusat pembelajaran agama Islam dengan adanya ‘Sakola Kita’yaitu madrasah sekolah kitab, lulusan-lulusan Kampo Malaju diberi gelar Lebe (dari kata Lebai), dalam sistim pemerintahan kesultanan Bima para Lebe dipergunakan untuk mengajarkan agama dengan upah Dana Ngaha. Pada daerah tingkat Jeneli (kecamatan) di utus Lebe Nae dan membawahi Cepe Lebe di tinggkat desa dan dusun, para Lebe di ketuai oleh Lebe Dalam. Dou Malaju yang masuk bekerja di istana kesultanan biasanya menempati posisi Khatib dan Mufti, para Khatib ini mempunyai tugas dalam urusan keagamaan dan membawahi para Lebe. Ada empat gelar Kahtib dalam sistem majelis sara, yaitu Khatib Tua, Khatib Karoto, Khatib Lawili dan Khatib Toi.

Kembali lagi pada soal Hanta Ka`pua, setelah rombongan melayu tiba di areal istana dimana mereka disambut barisan militer Kesultanan Bima, pasukan Jara Wera yang dikepalai seorang Anangguru, bersama barisan Jara Sara`u barisan kuda yang menari. Ketika depan pintu istana sambutan langsung dengan Sere dan Mpisi depan Tureli Nggampo dan Majelis Paruga Suba, kemudian Penghulu turun dari Pabule yang menyerupai kuburan Nabi Muhammad di Madinah, kemudian disambut oleh Tureli Nggampo (Raja Bicara) untuk menyerahkan Al-Qur`an kepada Sultan.  

Penghulu berdiri dihadapan Sultan dan menyerahkan Al-Qur`an sambil bersumpah Wallahi, Wabillahi, Watallahi lalu sultan menyambutnya dengan jawaban Wadjalaani min almukramin. Diserahkannya Al-Quran kepada Sultan adalah sebuah sumpah dan harapan besar agar Sultan menyebarkan kitab suci tersebut diseluruh masyarakat Bima. Adapun isi sumpah yang pernah terucap antara Penghulu Maharajalela dengan Sultan Abdul Khair Sirajuddin diatas semangkuk air.

Wallahi, Wabillahi, Watallahi, Jika seseorang diantara keturunan saya, pernah melanggar sumpah ini, semoga dia cair seperti air ini. Kata Sultan kemudian meminumnya dan menyerahkan mangkuk tersebut kepada Penghulu. Lalu Penghulu membalas dengan mengucapkan. Siapapun yang di ijinkan melanggar oleh keturunan saya, sumpah atau dosa terhadap sultan, semoga dia menghilang bagaikan air yang cair. Setelah mengucapkannya Penghulu lalu meminum air tersebut (Damste : 62).

Setelah tercetusnya Hanta Ka`pua dan menjadi tradisi wajib masyarakat Islam Bima oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin menetapkan Rawi Sara Ma Tolu Kali Samba`a yaitu Sirihpuan atau Hanta Ka`pua (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW), kemudian Aruraja Toi (Idul Fitri) dan Aruraja Nae (Idul Adha). Ketiga perayaan Islam tersebut adalah hari besar kesultanan Bima yang wajib dilaksanakan atas titah Sultan sebagai tonggak rekonstruksi dan penyebaran Islam di Dana Mbojo. Tidak hanya sebagai peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW, juga Maulid adalah hari lahirnya kembali tanah Bima dalam pelukan Islam Rahmatan lil alamin.

Paska Hanta Ka`pua ada beberapa point penting peristiwa yang terjadi era Sultan Abdul Khair Sirajuddin untuk Islam di Bima. Pertama, Penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam sehingga pemerintahan kerajaan benar-benar berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan Islam. Kedua, Penyesuaian bentuk Majelis Kerajaan dengan memasukkan unsure unsur agama Islam ; kalau sebelumnya Majelis Kerajaan terdiri dari Majelis Sara dan Majelis Hadat, maka setelah penyesuaian terdiri dari Unsur Sara, Unsur Sara Tua dan Unsur Hukum. Ketiga, Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan Syariat Islam dan memberikan kedudukan yang tinggi bagi para muballig, oleh karena itu dalam kronik Bima , Sultan Abdul Khair Sirajudin disebut Palita Agama (lampu agama). Keempat, Memerintahkan penyempurnaan Kitab Catatan Kerajaan dengan membuat ( menulis ) Bo, yang ditulis diatas kertas dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu. Kelima, Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang diperingati setiap tahunnya. Oleh Majelis Kerajaan hari-hari besar disebut Rawi Sara Ma Tofu Kali Sa Mbaa (T Haris : 1997 : 40-41).  


Oleh : Fahrurizki 


1 comments Blogger 1 Facebook

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top