ADS

Sejarah Muna yang berkembang pada masyarakat Suku Mbojo dimulai dari Busu yaitu sebuah Desa yang terletak di lembah Ndano Nae pinggir utara Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Busu merupakan masyarakat yang kesehariannya hidup dari menenun, hingga kini Busu dikenal sebagai sentral penghasil tenunan, selain itu bagi para prianya mereka hidup bertani dan berladang. Pada catatan para pelaut abad 16 bahwa pelabuhan Bima sudah menjual kain pada para pedagang yang singgah di teluk Bima.

Seorang Ibu di Busu sedang menenun di atas rumahnya.(Foto : Mbojoklopedia)

Perkembangan tenunan pada Suku Mbojo hingga melahirkan berbagai karya kain dan sarung yang indah serta berbagai ragam motif sarung seperti Salungka, Renda, Kapa’a dan lain sebagainya. Namun ada satu yang menarik yaitu Rimpu yang menggunakan sarung lokal atau disebut Tembe Ngoli oleh masyarakat Bima.

Awal mula berkembangnya tenun (Muna) pada masyarakat Busu seperti yang dikisahkan oleh Bapak Muhammad Sidik atau dikenal dengan panggilan Aba La Hari mengisahkan sejarah leluhurnya dan perkembangan Muna yang dituturkan secara turun temurun oleh orang tua mereka, kisahnya sebagai berikut :

“Berawal leluhur masyarakat Busu menempati tempat diatas pegunungan yang bernama ‘Dhewa Nasi’ awal pemukiman leluhur mereka. Saat itu zaman kerajaan, dimana penerangan menggunakan lampu dari kayu bakar, pemukiman tersebut berawal dari empat keluarga yang menempati masing-masing sudut tanah lapang dan ditengahnya digunakan sebagai tempat mereka menanam sayuran dan lain sebagainya.

Kemudian ada salah satu rumah dari empat keluarga tersebut yang letaknya di sebelah jurang, yang dibawahnya terdapat sebuah sungai. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya mereka menanam kapas untuk menjadi bahan dasar benang yang akan di tenunkan pakaian. Dari keempat keluarga tersebut semua mempunyai anak gadis, ada yang mempunyai anak gadis tiga orang, dua orang dan satu orang. Suatu hari seorang anak gadis dari satu keluarga yang mempunyai hanya seorang anak dari empat keluarga terebut sedang melakukan belajar tenun, dan karena terlalu kencangnya dia mendorong ‘Lira’ untuk tenun maka terjatuhlah Lira tersebut di bawah sungai yang berdekatan rumahnya dengan jurang.

Ketika itu tidak ada seorangpun yang sedang berada dirumahnya, akhirnya si gadis tersebut turun dari atas gunung tersebut dan mencari Lira yang jatuh. Begitu si gadis mencari dan menemukan Lira tersebut di sungai, ketika akan di pungut namun Lira tersebut bergerak menjauhi tangannya, ketika dipungut lagi Lira bergerak hingga membawanya kesebuah telaga dan Lira jatuh kedalam telaga tersebut dan membuat si gadis bersedih dan menangis. Dari atas rumahnya sang Ayah sedang mencari kemana anak gadisnya pergi sambil mencari mengikuti jejak kaki anak gadisnya yang turun ke bawah, akhirnya Ayahnya dari kejauh melihat anak gadisnya sedang duduk di tepi telaga sambil berusaha mengambil Lira tersebut yang ketika akan diambil Lira tersebut tenggelam kemudian terapung lagi.

Kemudian si Ayah melarang anaknya tidak usah diambil Lira tersebut dan biarkan saja, si Gadis memaksa harus mengambil Lira tersebut karena untuk melengkapi alat tenunnya. Setelah si ayah mendekati telaga dan dia tidak menemukan anaknya tadi yang duduk di tepi telaga, ayahnya kebingungan kemudian menuju pemukiman terdekat yang bernama Ntori untuk mencari seorang dukun yang akan membantunya mencari anak gadisnya tersebut. Kemudian dukun dan beberapa orang datang di sekitar telaga sambil membunyikan gendang yang dinamakan ‘Dhewa Iha’ untuk mencari orang hilang. Setelah dilakukan ritual Dhewa Iha beberapa hari namun si anak gadis tetap tidak di temukan, beberapa hari berlalu si ayah tidak putus asa mencari anaknya hingga suatu ketika dia berjalan di telaga yang lain maka muncullah anak gadisnya tersebut di telaga tersebut hingga telaga itu dinamakan “Parangga” yang berarti tempat muncul si gadis. Begitu melihat anaknya yang muncul diatas permukaan telaga oleh bapaknya langsung loncat kedalam telaga karena senang melihat anaknya dalam memeluk anaknya hingga keduanya tenggelam kedalam telaga hingga sekarang.

Kabar tersebut terdengar oleh pihak istana kerajaan Bima mengenai hilangnya bapak dan anaknya  tersebut. Kemudian Raja memerintahkan untuk masyarakat yang tingga diatas Dhewa Nasi untuk turun dan menempati dataran di kaki gunung yang dinamakan ‘Kalonggo’ yang berarti Kalondo yaitu menurunkan. Namun keempat keluarga tersebut tidak betah tinggal di kalonggo dan pindah di tempat yang baik dan bagus, akhirnya mereka menemukan tempat seperti yang diingikan. Menetaplah mereka disitu hingga beranak pinak dan jumlah masyarakat semakin banyak, lalu tempat tersebut dinamakan Busu dan sebagaian yang lainnya menempati Ntobo lalu mulailah para anak gadisnya mengembangkan tenunan di Busu hingga sekarang, untuk kebutuhan benang mereka menanam kapas dan memintalnya sendiri.”

Kisah diatas merupakan kisah awal mulanya perjalanan sejarah masyarakat Busu dan awal perkembangan Muna yang kerap dilakukan oleh para gadis di Busu dan Ntobo. Sejak dulu Busu dijadikan sentral Muna (tenun) seluruh wanita yang berada di Bima dahulunya datang ke Busu untuk belajar menenun, kisah Bapak Muhammad Sidik.



Oleh : Fahrurizki





0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top