ADS

Perjalanan dengan menggunakan sepeda motor dari Kota Bima hingga desa Oi Bura, Tambora memakan waktu 12 jam, capek dan pegal terasa hilang ketika aroma kopi yang sedang digoreng di desa Pancasila menggoda hidung. Perjalanan dilanjutkan menuju pemukiman perumahan kebun kopi Pak tarno di desa Oi Bura, dimana rumah tersebut merupakan peninggalan dari perusahaan Swedia dikelola oleh pak Tarno dari surat penunjukkan Disbudpar Bima, yang menjadi tujuan utama dalam Gerilya Kopi kali ini (17/7/2016), dari Mbojoklopedia untuk membahas sejarah, budaya, dan cita rasa kopi lokal.

Biji kopi saat dijemur depan perkarangan rumah di Tambora. (foto : mbojoklopedia)
Ketika era pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Nusantara pada pertengahan abad 20 dan kontrak perdagangan yang diharuskan dengan bangsa kulit putih tertentu dalam ketetapan penguasa, di Nusa Tenggara perdagangan pada era tahun 1800-an hingga 1900-an hanya mengimpor beras, kuda, kayu cendana. Ketika itu di Pulau Sumbawa khusunya Bima, kopi belumlah menjadi sesuatu hal untuk diperdagangkan dan di budidaya, kopi hanya sebagai konsumsi rumah tangga saja yang didapatkan tumbuh liar di hutan.

Seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda asal Swedia yang bernama Dr. Gösta Björklund membuat kontrak pengolahan lahan dengan Hindia Belanda untuk sebuah perusahaan Swedia di Tambora yang akan ditanami kopi seluas 55.000 hektar, lahan tersebut masuk dalam daerah territorial kekuasaan Kesultanan Bima dari pengalihan tanah tak bertuan dengan akte Hindia Belanda tahun 1866. Tambora sangat mendukung sebagai tempat untuk membudidayakan kopi dengan cuaca dan tanah vulkaniknya sisa dari letusan gunung Tambora tahun 1815.

Dari sebuah catatan jurnal film Swedia Medie- och kommunikationsvetenskapliga programmet (MKV), Björklund datang di Tambora dengan temannya Andre dan beberapa orang tentara Belanda tahun 1932, ketika itu semua lahan yang ditetapkan dipenuhi hutan lebat. Tahapan pertama yang dilakukannya ketika di tambora yaitu membangun sebuah pemukiman dan pabrik produksi di lereng barat yang sekarang menjadi desa Oi Bura, setelah semua hutan dibabat seluas kurang lebih 100.000 hektar, kemudian hanya 55.000 hektar untuk ditanami kopi yang bibitnya didatangkan dari Swedia langsung.

Budidaya kopi bibit Swedia tersebut berjalan lancar, ekspor hasil kopi juga menuai laba. Pemasaran kopi tersebut hingga dibuatkan film dokumenter khusus yang diputar di Swedia dan Eropa. Sebuah film yang berjudul Tambora dengan durasi 35 menit oleh produser Paul Fejos, memuat tentang produksi kopi. Pembuatan film dari tahun 1936-1937 yang dilakukan di kebun kopi Tambora. Usaha budidaya kopi yang dilakukan oleh Björklund hanya sampai tahun 1940.

Sisa dari tempat penampungan air yang dibangun oleh Bjorklund (foto : mbojoklopedia)

Ketika dirumah Pak Tarno banyak cerita dan kisah yang dicerita olehnya, yaitu tentang jatuh bangunnya produksi kopi di Tambora. Memasuki tahun 1943 kebun kopi di kelola oleh NV Pesuma dimana kontrak kerja di buat dengan Kesultanan Bima, kemudian tahun 1977 kebun kopi dikelola oleh PT Banyu Aji Bima yang diserahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui keputusan kerjasama Mentri Dalam Negri. Tahun 2000 kebun kopi mengalami permasalahan keuangan dengan tidak dibayarnya gaji para pekerja, tahun 2001 kondisi kebun kopi terlantar dan tidak terawat, sebagian pekerja ada yang pulang kembali ke kampung halaman mereka dan sebagian kecil ada yang menetap, kata Pak Tarno.

Kemudian tahun 2002 Pemerintah Daerah Kabupaten Bima mengambil alih kebun kopi dengan tujuan penyelamatan aset, karena sebagian lahan kebun kopi banyak di kapling atas nama pribadi mantan pekerja kebun kopi tersebut. Di tahun 2002 lahan kebun kopi di tingkat untuk mencapai hasil yang baik, dan hasilnyapun mulai membaik dengan hasil produksi 450 Kilogram per hektarnya. Kemudian tahun 2012 areal kebun kopi Tambora masuk dalam wilayah desa pemekaran Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Setelah berbincang singkat dengan pak Tarno, perjalanan dilanjutkan menuju pemukiman transmigrasi sebelah selatan gerbang jalur pendakian Tambora yang masuk dalam wilayah desa pancasila, Dompu, salah satu penduduk desa Pancasila yang bernama Wawan (15) menyeduhkan beberapa gelas kopi hitam dengan aromanya yang sangat nikmat, sambil minum kopi dia menuturkan harga kopi tidak begitu stabil tahun ini, semoga cepat teratasi oleh pemerintah, katanya.

Saat mengunjungi kebun kopi milik Wawan, kami menjumpai kotoran luwak yang masih baru. Pengenalan kopi luwak oleh masyarakat Pancasila dan Oi Bura sekitar tahun 2000, ketika itu kotoran luwak hanya dianggap sebagai kotoran dari hama pengganggu.

Dalam pengolahan kopi untuk konsumsi rumah tangga, biasanya masyarakat setempat menggorengnya dengan berbagai rempah-rempah untuk menambah rasa. Ketika digoreng dengan campuran rempah oleh salah satu warga, aromanya yang nikmat bertebaran dibawa angin sambil minum kopi diselimuti oleh udara kebun yang dingin dan sejuk.




0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top