ADS

Suara gonggongan anjing-anjing pemburu terdengar dari dalam hutan Boro dan teriakan para Panggawa yang sedang menggiring segerombolan rusa-rusa yang berlarian dari gunung Boro untuk menuju sebuah bukit yang bernama Tengke, setelah semua rusa di giring oleh anjing di tengah bukit maka berlarilah mereka menuruni Tengke menuju pantai hingga masuk kedalam laut, di pantai beberapa orang bertombak bertugas untuk menombaki rusa jantan besar yang akan keluar dari dalam laut, saat berburu hanya rusa jantan besar yang boleh di bunuh. Pada bagian Tengke sebelah timurnya di So Wadu para Raja, pembesar istana beserta tamunya duduk sambil menonton perburuan yang sedang dilaksanakan di Tengke.

Kepala Residen sedang berburu bersama di So Tengke, Sanggar. Foto tahun 1910. (Sumber : Donald Tick)

Kisah diatas diceritakan oleh Bapak Aswat, salah satu penduduk Loka, Desa Boro, Kecamatan Sanggar. Masih segar ingatannya serta melihat langsung tradisi perburuan di Tengke yang berlangsung sejak zaman dahulu hingga tahun 1980-an yang hanya bisa diadakan setahun sekali. Waktu kecilnya Bapak Aswat sering menonton kegiatan berburu Tengke dikala Sanggar kedatangan kunjungan Bupati dan pejabat lainnya, tradisi perburuan di Tengke dilakukan hanya ketika kedatangan tamu istimewa. Rusa dengan tandu yang besar bergerombol turun ke pantai hingga masuk kelaut karena digiring oleh anjing, kisah Bapak Aswat.


Tengke terletak di Dusun Loka, dahulu para penduduknya adalah para ahli berburu yang dipunyai oleh Sanggar, namun sekarang aktifitas berburu tak lagi dilakukan oleh mereka karena rusa yang semakin sedikit. Perburuan di Tengke biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan nama “Nggalo Ruhu” yang berarti berburu rusa, Nggalo Ruhu di ketuai oleh seorang Panggawa yang berarti kepala kelompok dan Tengke adalah nama tempat yaitu sebuah bukit dan dibawahnya terdapat pantai berpasir putih yang sangat indah serta view laut yang menakjubkan. Menuju Tengke dari Desa Kore hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit menuju Dusun Loka, begitu tiba terdapat satu jalan yang menuju Tengke memasuki areal perkebunan warga sekitar.

Memasuki Tengke disambut pantai pasir putih yang sangat bersih, menuju diatas bukitnya berjalan beberapa menit untuk tiba di atas bukit. Begitu tiba di atas suguhan view yang luar biasa indahnya, areal pantai Boro dan birunya laut yang akan memanjakan mata. Menuju tempat tersebut kami di temani oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tengke, berjalan sambil bertanya kepada Jia salah satu pentolan kelompok Pokdarwis Tengke menjelaskan bahwa beberapa tempat di Tengke sudah di sertifikasi oleh beberapa oknum, yang menurutnya kelestarian Tengke untuk menjadi tempat wisata masyarakat akan terancam, katanya.

View So Tengke pada sore hari. (Foto : Mbojoklopedia)

Jia menjelaskan bahwa dari semua lahan yang tampak sudah di buatkan pagar adalah milik oknum yang sudah disertifikasi, sehingga ruang untuk pantainya semakin kecil dan terbatas untuk ruang masyarakat bermain ketika mereka piknik di Tengke. Setahunya bahwa Undang-undang Negara tidak memperbolehkan pantai untuk di sertifikasi, kata Jia sambil menunjukkan beberapa petak tanah yang akan dijadikan milik pribadi.

Dahulunya selain menjadi tempat perburuan para Raja-raja, Tengke juga dijadikan tempat pelepasan hewan seperti sapid an kambing oleh warga Desa Boro, karena di tengah bukitnya terdapat padang rumput hijau yang luas serta satu sumur yang memadai areal tersebut untuk dijadikan tempat pelepasan hewan warga, namun sangat disayangkan sekarang tempat tersebut sudah menjadi aset pribadi. Mereka (masyarakat) berharap Tengke dibebaskan dari pengklaiman aset pribadi dan dijadikan tempat sejarah dan wisata bagi kemajuan Sanggar di bidang pariwisata kedepan.

Situs Lopi Penge di mata air Towan, oleh warga mengisahkan bahwa situs ini tempat Dae la Minga duduk ketika akan mandi. (Foto : Mbojoklopedia)

Setelah mengobrol lama mengenai pesona Tengke dan sertifikasi oknum, kamipun berlanjut menuju mata air Towan letaknya bersebelahan dengan Tengke, jarak mata air towan dan Tengke sekitar satu kilo lebih, berjalan kaki memasuki hutan dan menyusuri sungai kecil, mata air Towan yang katanya dimana terdapat satu batu yang menyerupai sebuah perahu bernama “Lopi Penge”, Bapak Suhada salah satu tokoh masyarakat Desa Boro mengisahkan bahwa Lopi Penge tempat duduknya Dae La Minga mengoles rambutnya dengan kelapa sebelum dia mandi di mata air tersebut. Pada mata air Towan terdapat satu pipa yang di pasang oleh warga untuk memudahkan memgambil dengan ember serta memudahkan mata air mengalir keluar. Mata air di naungi pohon Siri dan Pinang sehingga ketika orang yang suka sirih hanya tinggal membawa kapurnya atau Afu, jelas Bapak Suhada dengan sedikit bercanda.

Potensi Sanggar pada kebudayaan dan sejarahnya sangat bernilai tinggi untuk kemajuan dunia pariwisata Nusa Tenggara Barat kedepannya. Berbagai pantai pasir putih yang indah dari Piong hingga Boro menjadi magnet buat penggila traveling. Tak hanya destinasi pantai juga berbagai cagar budaya seperti Tengke, Rade Nae dan Rade Raja Kore menjadi daya tarik bagi wisatawan minat khusus, Sanggar mempunyai Sejarah besar seperti halnya Tambora. Pada tahun 1866 Kerajaan Sanggar diberikan hak penguasaan wilayah Tambora oleh Gubernur Jendral Makassar Bosch, hingga kini Sanggar juga di identikkan dengan sejarah besar Tambora, namun ada beberapa kekeliruan yang mengatakan bahwa Sanggar juga ikut musnah akibat letusan Tambora 1815, yang faktanya Sanggar berdiri hingga tahun 1926 dengan Raja-nya yang terakhir Raja Abdullah. 


Oleh : Fahrurizki    



0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top