ADS

Tahun 1952 Bima resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tahun 1953 Swapraja Bima diketuai oleh Abdul Kahir II, kemudian keluar UU No.64/1958 bahwa Bima menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II dengan ibukotanya Raba-Bima. Setelah Abdul kahir II yang juga merupakan putra dari Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin di utus menjadi anggota DPR Pusat menggantikan M Noer Husen. Posisi Abdul kahir sebagai ketua Swapraja yang setingkat Bupati digantikan oleh Letkol H. Sumardji.

satu tahun sebelumnya 1951, Sultan Muhammad Salahuddin yang awalnya pergi berobat ke Jakarta, namun siapa sangka bahwa kepergiannya itu untuk selama-lamanya hingga beliau dikebumikan disana. Bima setelah bergabung dengan NKRI mengalami masa transisi sosial, dimana asset dan property kesultanan satu persatu hilang entah kemana. Lalu istana kejayaan Asi Mbojo mengalami peralihan yang sangat mengenaskan.

Asi Mbojo, jika musim hujan, halaman depan akan tergenang oleh air hujan. (Foto : Mbojoklopedia)

Gerakan 30 September (Gestapu) meletus tahun 1965 hingga sampai ke Bima, seluruh warga keturunan Tionghoa di bawa ke Asi Mbojo untuk di interogasi dan juga di amankan. Selama dua pekan mereka diamankan didalam Asi, pada toilet bagian timur Asi berserakan Tinja atau kotoran manusia akibat banyaknya jumlah pengguna toilet. Lantai Asi ditempelin tinja hingga mengering akibat terbawa oleh sepatu dan sandal.

Dari penuturan Pak Syarifuddin salah satu penghuni Asi Mbojo di bagian timur atau kamar 6 yang di khususkan untuk pejabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daerah Bima. kondisi atap semua hancur dan atap bagian selatan roboh, jika pada waktu hujan, air masuk dan merusak beberapa permadani peninggalan kesultanan, tuturnya.

Oleh Bupati Suharmadji pada tahun 1967 mengganti fungsi Asi Mbojo menjadi asrama untuk para perwira dan rumah para Jena bagian timur Asi menjadi rumah dinas untuk anggota DPRD Bima. Pada kamar-kamar Asi di huni oleh satu Wakil Kodim  Pak Mana dan dua orang dokter Angkatan Darat Pak Dwijo dan Pak Santre, semua kamar dalam Asi diterakan nomor 1 hingga 10.

Semua ahli waris keturunan Sultan Bima tak lagi menetap di Bima, mereka ikut pergi ketika Abdul Kahir menjabat DPR RI di Ibukota Jakarta. Hingga berbagai aset dan properti sisa kesultanan dijual oleh berbagai oknum Angkatan Darat. Seperti yang disaksikan oleh Pak Syarifuddin saat diwawancarai oleh penulis (7/10/2017), beliau salah satu penghuni Asi Mbojo ketika orang tuanya menjabat sebagai wakil DPRD Bima, saat itu tahun 1967 dia melihat Pak Dwijo menjual meriam kuningan pada kapal asing di pelabuhan Bima, banyak orang yang mengangkat meriam tersebut untuk dibawa ke pelabuhan, kisahnya. Saat itu Pak Syarifuddin duduk dibangku SMA, jadi kejadian tersebut kerekam jelas oleh ingatannya.

Tak hanya meriam juga berbagai property kesultanan lainnya juga ikut dijual oleh oknum-oknum yang berkuasa saat itu, seperti areal halaman Asi Mbojo sebelah selatan dijadikan rumah oleh para pejabat, Uma Nae yang merupakan Baitul Mal kesultanan bersebelahan dengan Asi  dirobohkan untuk membangun rumah mewah para pejabat. Kondisi Asi Mbojo layaknya rumah hantu, tidak berpenghuni dan para tukang kebun serta pekerja lainnya tidak lagi bertugas sebab tanah hadat yang dijadikan sebagai gaji mereka telah dicabut.

Sejak swapraja di hapus dan kesultanan menjadi Daerah Tingkat II, berbagai tanah hadat (Dana Ngaha) para Jeneli dimasukkan kedalam Lembaga Yayasan Islam. Kondisi Bima paska kemerdekaan manisnya tidak di alami oleh para seniman, tanah hadat yang diperuntukkan untuk mereka sejak turun temurun dicabut dan kesenian pun menjadi terlantar (Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat).

Sekitar tahun 1960 ketika Siti Maryam mengunjungi Asi Mbojo, beliau mendapati kondisi Asi yang sangat mengenaskan dan sangat memprihatinkan, berbagai arsip kesultanan sudah tidak lagi pada tempatnya, berceceran kemana-mana hingga beberapa catatan lama yang sangat penting ditemukan di dapur, kisahnya dalam buku Biografi Siti Maryam, Demi Masa.

Sisa dari sebuah kejayaan peradaban Bima masih berdiri kokoh dari waktu ke waktu menjadi kebanggaan yang dahulu di anggap sakral dan dihormati, namun itu tinggallah kenangan seperti bangunan tua pajangan, tak jarang berbagai aktifitas acara di Asi Mbojo hanya meninggalkan sampah, serta para remaja kerap mencoret pada property museum, di pojok-pojok bangunanpun kerap dijadikan toilet untuk buang air kecil.


Oleh : Fahrurizki





1 comments Blogger 1 Facebook

  1. Artikel yang bagus dan informatif hanya saja penulis mungkin harus lebih memerhatikan tata bahasa dsb. apakah sudah sesuai dengan EYD dan KBBI atau belum :)

    BalasHapus

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top