ADS

Sungguh akan terasa beda manakala kita mendapati seorang khatib shalat jum’at, tidak saja karena dia membawa khutbah bercorak aktual, tapi juga dari aura wajahnya yang memancarkan kesejukan. Tak ada hawa kebencian yang tergambar dari roman mukanya. Maka hikmat kebijaksanaan sang khatibpun akan membuat jama’ah terpesona. Ketika Pak Ustadz menyampaikan khutbah jumat dengan khas, progresif dan mencerahkan, maka seketika itu pula ghirah keislaman umat kian menyala. Sungguh berharap besar kepada khatib sebagai benteng umat ituagar dapat mentransformasikan pesan-pesan ilahiah yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam rangka mengatasi persoalan kemasyarakatan dan keumatan yang semakin kompleks.

Khatib itu harus menyoroti problema kehidupan sosial, lalu dibingkai dengan pesan langitan sesuai tantangan lokalitas masing-masing. Misalnya dalam kasus Bima yang akhir-akhir inidiwarnai konflik dan kekerasan, maka khatib mesti ambil bagian untuk mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian. Lalu kita bersama-sama menyeru untuk melaksanakan refeksi diri, muhasabah dan taubat. Prioritaskanakhlak kunci sepertimengikat kata maaf, untukmerekatkan persaudaraan.

Masjid Sultan di Kampung Sigi, Kota Bima (foto : mbojoklopedia.com)

Di sisi lain, tak jarang pula kita menemukan khatib bertipe propagandis bahkan provokator, kerap menyalakan api kebencian yang membakar emosi jama’ah. Semua pemerintah dikafirkan, semua yang berbeda dengan mazhabnya dikatakan sesat. Yang agak menggelikan adalah, hal-hal berbau asing dikambinghitamkan, lalu ditersangkakan sebagai biang kerok berbagai persoalan konflik, narkoba, terorisme hingga krisis ekonomi, semua dituduhkan pada orang asing.Kekacauan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sekalipun itu bentrokan antar desa, yang disalahkan tak jauh-jauh dari Yahudi, Amerika dengan segala bumbu-bumbu “teori konspirasi” lainnya.


Harus diakui, memang ada juga tindak tanduk asing yang sangat menjengkelkan. Namun tidak berarti kemudian kita meng-over-simplifikasi persoalan umat lalu disandingkan dengan asing semata-mata. Geli dan lucu. Di luar mimbar, terkaget-kaget saya mendengar percakapan, dari orang yang dianggap ahli agama pula. Katanya, konflik antar kampung, lagi-lagi Yahudi dan Amerika yang disalahkan. Jauh sekali dalangnya, melintasi benua. Semestinya khatib cukup memberi penjelasan kepada umat tentang cara berkehidupan yang baik, bertetangga yang harmonis, berkata sopan santun dan tidak menyakiti orang lain agar konflik antar kampung itu terselesaikan secara internal. Bukan menciptakan musuh imajiner.

Jangan sampai umat digoreng terus emosinyalalu tenggelam dalam kesadaran palsu yang abstrak menempatkan “orang lain” sebagai musuh bersama. Energi kita habis untuk melawan musuh imajiner, musuh jauh, sementara musuf dekat berupa kebodohan dan keterbelakangan sangat banyak sekali. Secara objektif, betapa banyak persoalan internal umat yang bisa diselesaikan daripada hanya menghabiskan energi untuk mencaci-maki“orang lain”. Jihad yang utama hari ini adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Maksudnya melawan hawa nafsu.

Mimbar Jum’at sebagai Corong Perdamaian

Sebagai kewajiban bagi setiap muslim (terutama laki-laki) yang sudah aqil baligh, maka shalat jumat sebagai ritual mingguan perlu dimaksimalkan. Dari situ kita dapat mensosialisasi ajaran agama yang cinta damai lewat khutbah jumat. Memperhatikan jumlah dan frekuensinya yang teratur, maka tampak sekali bahwa khutbah jumat adalah ruang yang tepat untuk menebarcinta dan kasih. Hal ini didukung pula oleh kondisi jum’atan yang sakral, komunikasi satu arah dan komposisi serta latar belakang jama’ah yang representatif.

Momentum shalat jumat sudah saatnya dimaksimalkan dengan mencetak khatib-khatib cerdas, berintegritas dan pandai memformulasikan solusi konkret yang berpijak pada ajaran keagamaan untuk mengatasi problema d sekitarnya. Ruang mimbar jum’at itu harus direbut oleh kaum muslim moderat, jangan sampai jatuh ke tangan-tangan yang memprovokasi umat ke kekerasan berpikir dan bertindak. Seorang khatib haruspeka terhadap isu-isu sosial, agar khutbah yang diberikan tidak sebatas memutar ulang tema-tema yang usang, yang bikin jama’ah ngantuk dan pengen cepat pulang.
Khatib harus mampu mencerahkanumat tentang urgensi pengamalan ajarankeagamaan untuk kemaslahatan bersama. Khatib harus bisa menyampaikan risalah dakwah yang berisi narasi yang bisa untuk membangunkankesadaranumat agar mereka dapat membangun refleksi, dan menenangkan jiwa sehingga terbentukpribadi dan kelompok muslim yang tidak saja punyakesalehan individu, tapi juga kesalehan sosial.

Di tengah konflik antar kampung, maka kehadiran khatib yang meniupkan angin kedamaian sangat dirindukan. Umat perlu diperkuat, dan diperluas cakrawala wawasannya, agar mereka mampu menampilkan Islam, tidak sebatas simbol dan identias, tapi sebagai spirit yang menggerakkan umat dalam kebajikan.

Bayangkan saja, dalam khutbah jumat, umat Islam berkumpul dalam suatu kesempatan yang berbahagia, selayaknya dimaksimalisasi untuk mengarus-utamakan Islam Rahmatan lil ‘Alamin untuk kemudian disebar-luaskan dari atas mimbar jumat. Saatnya energi umat dikelola dengan baik dan diarahkan pada sasaran yang tepat. Khatib harusberwatak progresif yang bisamenginjeksi umat dengan vitamin yang menyehatkan jiwa. Khatib harus mampu menggugah umat untuk mengedepankan budaya disiplin, menjalankan profesi berorientasi pelayanan publik yang tulus, menjaga lingkungan masing-masing, membuang sampah pada tempatnya, menjadi pegawai negeri yang berintegritas, melakoni bisnis yang punya komitmen sosial.

Pokoknya, khatib mesti cerdas menawarkan solusi yang konkret yang berpijak pada teks kitab suci lalu dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan modern guna menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Alangkah indahnya bila ruang dan waktu umat difokuskan untuk menyelesaikan persoalan terdekat, mulai dari hal-hal terkecil dan mulai dari diri sendiri tentunya. Jangan sampai umat hanya diajak merasa puas dengan kenikmatan palsu menghancurkan musuh jauh, sementara musuh dekat berupa kekerasan, kebodohan dan kriminalitas benar-benar mengepung daerah kita dari berbagai arah.

Tak bisa dipungkiri memangYahudi dan Amerika memiliki dosa juga, tapi pertanyaannya apakah kita ini memangnya tidak punya dosa? Mari ngaca, tengok di sekeliling kita, masalah sepele di daerah kita ini langsung meletus tawuran antar kampung. Mari memegang konsep tahu diri. Kita seharusnya belajar untuk menerima kenyataan bahwa cita ideal mewujudkan masyarakat cinta damaidapat diupayakan dari internal kita sendiri, akui bahwa penyakit itu memang ada, bahkan parah, lalu bergegas kita obati, sembari mengisi hari demi hari di masa depan dengan sehat pikir, hati dan laku. Menebar perdamaian dari mimbar jum’at adalah salah satu langkah yang patut kita maksimalkan.


Oleh Mawardin Sidik

Editor mbojoklopedia
Pendiri lembaga riset demokrasi dan perdamaian (REDAM) NTB




0 comments Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top