ADS

Paska perjanjian Bungaya tahun 1667 di Kerajaan Gowa, eksodus besar-besaran terjadi pada kelompok  yang tidak mau tunduk pada VOC yang saat itu dipimpin oleh Admiral Cornelius Spelman. Kelompok itu di pimpin oleh para Karaeng, Penghulu dan Dato, mereka berpencar di segala penjuru Nusantara. Rombongan Penghulu Maharajalela serta kaum melayu lainnya memilih Bima di Pulau Sumbawa.

Mereka tiba di Bima dan menetap di Ule Sori Kempa bersama ulama Datu Iskandar, Datu Mangkota dan empat orang lainnya. mereka adalah anak cucu dari Daru Ri Bandang dan Datu Ri Tiro, yang sejak awal di janjikan untuk mengajari dan menyebarluaskan Islam di tanah Bima. Tapi sebelumnya sudah ada kaum melayu yang tinggal di Bima dalam jumlah kecil, dan di mata Tanah Bima kaum melayu turunan para penyiar Islam itu mempunyai kedudukan mulia sejak Sultan Abdul Kahir (1620-1640).

Wanita Bima, mengenakan Rimpu saat pawai Budaya dalam rangka HUT Kota Bima 2017.
(Foto mbojoklopedia.com)

Sultan Bima saat itu Abdul Khair Sirajuddin mengijinkan mereka untuk menempati Sori Kempa, yang dijadikan pusat penyebaran agama Islam pada penduduk Bima yang mendiami pesisir teluk. Akibat banjir kemudian mereka pindah dan menempati Tolobali dan diberi nama Kampung Melayu. Berawal dari kampung ini semua seni budaya Bima tumbuh dan berkembang.

Mulai dari tarian, kuliner, hingga cara berpakaian mempengaruhi kehidupan orang Bima, seperti pakaian tradisional Bima “Kabaja Bantam” yang biasa dikenakan oleh para penghulu Melayu kemudian di ikuti oleh para pembesar di Bima dan menjadi pakaian kebesaran untuk para Haji dan “Bumi”. Orang-orang Melayu mengabdikan diri mereka di tanah Bima sebagai Guru, Juru Tulis, dan Ulama.

Biasanya para wanita melayu lebih mengurung diri dalam rumah, dan didalam rumah mereka dibuatkan loteng khusus untuk melihat suasana luar rumah, tradisi ini juga membaur dengan masyarakat lokal sehingga tiap rumah panggung di Bima akan dibuatkan Taja (loteng) untuk para wanitanya. Jika mereka ingin ke pasar atau ke rumah kerabatnya mereka akan mengenakan sarung untuk menutup badan mereka yang di sebut Rimpu.

Pada abad 18 hingga 20 Rimpu dari sarung hanya dikenakan oleh para wanita melayu, adapun jika dikenakan oleh wanita Bima mereka adalah anak dari Lebe (Imam dan Ulama). Awalnya Rimpu dan tradisi melayu lainnya  yang sudah berakulturasi disahkan oleh Hadat tanah Bima melalui rapat Paruga Suba bersama Sultan Bima Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682), Tureli Ngampo Abdurrahim, Bumi Luma Rasanae, serta Bumi Ngeko serta dato’ melayu.(Damste, 59)

Mereka menetapkan seni dan tradisi yang sah dan masih berpatokan pada agama Islam. Dan dari sinilah tercipta “Ua Pua” serta terbentuk grup musik pertama kali di Bima yang diberi nama “Ule Balang”. Pada mufakat Paruga Suba itupun Sultan Abdul Khair Sirajuddin mengubah Bo (catatan kerajaan Bima) dari aksara Bima menjadi aksara Arab Melayu yang di Rahmati oleh Allah SWT.

Kebudayaan Islam (Melayu) mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat Bima sejak ditetapkan oleh Sultan Bima. kemudian kebudayaan itu berkembang hingga berakulturasi menjadi budaya lokal “Dou Mbojo”. Salah satu kiblat budaya Islam - Bima saat itu adalah kampung melayu, berbagai lapisan masyarakat Pulau Sumbawa pun datang untuk belajar ilmu agama di kampung melayu – Bima.

“Perempuan yang muda di rumahnya terkurung
Seraya mengambil baju dan sarung
Abu yang panas boleh diarung
Pergi menonton di tepi lorong”

Salah satu syair khatib Lukman saat menceritakan bagaimana para wanita Bima dahulu menuju keramaian saat prosesi penobatan Sultan Ismail (1817-1854) pada tahun 1817 masehi berkeliling Bima setelah dilantik di pasar menuju istana Asi Saninu.

Dari situ kita bisa melihat bagaimana pada tahun itu sarung sudah dikenal oleh perempuan Bima. sarung warisan melayu, sarung sangat sederhana dulunya hanya satu warna, kemudian berkembang menjadi tren dengan gaya motif, kualitas tenunan dan harga. oleh wanita melayu sarung digunakan untuk menutup badan mereka atau hijab. begitupun wanita Bima, sarung untuk berhijab dinamakan Rimpu yang diambil dari nama cara pemakian yaitu Rimpu dalam bahasa Bima lampau. Rimpu sendiri berarti kerudung sarung oleh melayu. namun pada rumpun yang sama yaitu Islam.

berbagai busana Orang melayu. "Hadji Melayu, Wanita Melayu, Petani Palm dan Gadis Melayu tahun 1898, Sumatra, Indonesia" (Koleksi : The Leo Haks collection of 19th and early 20th century Asian photography, acquired 2007.)

Penggunaan rimpu mulai ramai di tanah Bima itu sendiri di mulai dari tahun 1920-an dan itupun hanya di lakukan oleh wanita di Rasanae sekarang Kota Bima, kemudian menyebar ke seluruh pelosok Bima. Seperti yang terdapat dalam kebanyakan dokumentasi foto-foto lama, hanya di kampung Melayu yang terdapat foto memakai rimpu, dan kebanyakan dari dokumentasi tahun tersebut. Pada kalangan wanita  istana belum banyak mengenakan Rimpu dan kebanyakan memakai kebaya.

Pada tahun 1920-an belum begitu banyak wanita di luar Rasanae mengenakan rimpu, begitupun dengan wanita di Dompu juga tidak banyak yang mengenakan Rimpu. Penyebaran Rimpu di Dompu dibawah oleh orang-orang Bima. Ada dua cara penyebaran di Dompu pertama paska leteusan gunung Tambora tahun 1815, kedua melalui transmigrasi untuk bercocok tanam kemudian mereka menetap atau biasa disebut "Kanggihi" oleh Suku Mbojo.

Penyebaran Rimpu di seluruh pelosok tanah Bima mulai intens dilakukan tahun 1940-an, seperti yang diungkapkan oleh berbagai sumber yang di wawancarai oleh penulis. Dalam lingkungan istana pun Rimpu tidak terlalu digunakan dan itupun tampak dari berbagai dokumentasi yang di ambil pada tahun tersebut. Namun satu hal yang dipetik dari sejarah singkat perjalanan Rimpu di atas, yaitu Rimpu adalah Simbol kehormatan Suku Mbojo dan identitas budaya.



Oleh : Fahrurizki




4 comments Blogger 4 Facebook

  1. Tidak adakah referensi lain yg di gunakan dalam penulisan ini ?

    BalasHapus
  2. Informasi yg sangat bermanfaat bagi orang2 yg msh awam akan sejarah kebudayan yg ada di "Dana Mbojo", moga semakin Baik lg penulisan serta di tambahkn referensi2 yg lainnya

    BalasHapus

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top