ADS

Dalam sejarah perang di Nusantara pertengahan abad ke-17 masehi, salah satu perang terbesar yang pernah terjadi yaitu perang Kerajaan Gowa melawan VOC (Belanda) yang terus berkecamuk dari tahun 1655 hingga 1669 dikenal dengan “Perang Makassar”. Mungkin pada abad itu merupakan perang terbesar yang dialami oleh Belanda dan Gowa dalam rentetan sejarah perang mereka, ketika itu Kerajaan Gowa di pimpin oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC di pimpin Cornelis Janzon Spelman.

Namun perang yang paling dahsyat yaitu terjadi pada tahun 1666-1667 sehingga melahirkan sebuah perjanjian Bungaya. Awal memanasnya hubungan Kerajaan Gowa dan VOC (Belanda) ketika tidak ada lagi jalan keluar untuk penyelesaian peristiwa sebuah kapal Belanda De Leuwin yang kandas di pulau Dayang-dayangang pada 24 Desember 1664.

Lukisan kisah penaklukkan Makassar oleh Speelman tahun 1666 - 1669 oleh Romeyn De Hooge tahun 1669 (sumber : National Archief).
“Oleh pihak Belanda menuduh bahwa di atas kapal itu ada sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit yang telah di sita oleh orang Makassar. Belanda menuntut kepada Sultan Hasanuddin, supaya uang perak itu dikembalikan kepada mereka. Berulang kali Belanda mengajukan tuntutan itu, tetapi Sultan Hasanuddin selalu menolak, dengan alasan barang sitaan itu milik Kerajaan Gowa,” tulis Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah.
    
Kemudian oleh pihak Belanda dalam rapat di Batavia 5 Oktober 1666 menghasilkan keputusan mereka untuk menyerang Kerajaan Gowa, maka pada tanggal 19 Desember 1666 armada Belanda tiba di perairan Makassar. Pihak Kerajaan Gowa mengambil sikap untuk mempersiapkan segala persenjataan perang mereka di sepanjang benteng pertahanan Gowa.   

“Armada Belanda dibawah komando Speelman, pada pagi hari, 21 Desember 1666, mengibarkan “bendera merah” tanda serangan dimulai,” tulis Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. 
    
Perangpun meletus dengan suara-suara tembakan meriam dan suara para prajurit Kerajaan Gowa yang bersemangat. VOC dibantu oleh beberapa kerajaan Bugis yang ingin merdeka dari Kerajaan Gowa, mereka berkoalisi membangun kekuatan untuk menyamai Gowa, di pihak VOC Kapitan Jonker dari Maluku,Ternate, Arung Palaka dari Bone serta Buton. Adapun dari pihak Gowa yaitu Luwuk, Bima, dan juga dari beberapa sumber mengatakan Portugis juga ikut terlibat membantu pihak Gowa.

Dalam hal ini Kesultanan Bima sebagai kerajaan yang juga dibawah pengaruh Kerajaan Gowa, yang sejak dulu sudah menjalin koalisi (penaklukkan Raja Bima bernama Salisi tahun 1640), mengharuskan Bima ikut serta mengambil peran dalam menghadapi VOC dan sekutunya. Saat itu Bima di pimpin oleh Sultan Muda Abdul Khair Sirajuddin yang juga ipar dari Sultan Hasanuddin.

Pada pertengahan tahun 1666 Sultan Hasanuddin mengirim Sultan Bima Abdul Khair Sirajudin untuk menundukkan Buton dengan 700 buah kapal dan 20.000 prajurit. Saat itu Sultan Bima sudah di angkat sebagai Laksamana Muda Kerajaan Gowa. Pada peperangan di Buton Sultan Bima harus kehilangan seorang Panglima Kesultanan Bima yang sekaligus Raja Bicara bernama Abdullah dengan gelar Bumi Luma Kae Mambora Ese Buton. Saat di Buton Sultan Bima dan Laksamana Alimudin harus mengalamai kekalahan, mereka ditawan namun Sultan Bima bisa melarikan diri dan membunuh Sembilan orang Belanda. Dengan demikian Sultan Bima di cap oleh Spelman sebagai “Penjahat Perang” (C. Skinner, 1963).

Bukan hanya di Buton, Sultan Hasanuddin juga memerintahkan Sultan Bima ikut menuju Bone. Sosok Sultan Bima sangat diandalkan oleh Raja Gowa, terlebih dari hubungan kekerabatan mereka. Seperti yang diceritakan oleh seorang Tureli Bolo bagaimana Sultan Bima terus menemani Raja Gowa dalam peperangan, tertulis pada naskah Kerajaan Bima, “Raja Goa Tuminan ra Bala Pangkana pergi perang di Bone dengan Arung Palaka, Raja Bima empunya Rumah Jati pergi juga, ada juga bekasnya pada orang itu,” Bo Sangaji Kai, naskah 68.

Keterlibatan Kesultanan Bima dalam perang Makassar adalah keputusan dari Sultan Bima sebagai pemegang kuasa dalam menyatakan perang disebut “Ngusi Kuasa Bisa ro Guna” dan juga atas dukungan dan persetujuan Dewan Hadat kesultanan. Terlebih lagi Kerajaan Gowa adalah kerajaan dari Ibu Sultan Bima itu sendiri. Sultan Abdul Khair Sirajuddin juga mengajak serta menantunya Sultan Dompu ikut berperang.

Sultan Bima serta pasukanya mempunyai semangat yang tak bisa diruntuhkan oleh siapapun, mereka menuju Makassar tanpa melihat kebelakang (rumah) dengan segala kemampuan yang mereka miliki untuk memerangi “Dou Kafi”(sebuah ungkapan untuk pasukan Belanda). Mereka tertawa saat berperang, menyambut kematian untuk sebuah kehormatan bangsanya. Hal itupun di tulis oleh seorang juru tulis Sultan Hasanuddin bernama Enci Amin dalam syairnya sebagai berikut :

“Sekalian hadir senjatanya dibawa 
hambanya banyak Bima Sumbawa 
Sekaliannya itu suka tertawa 
semuanya mau membuang nyawa.”
(Syair Perang Mengkasar, bait 277).

Dalam penjelasan Skinner, “Bima Sumbawa adalah nama kota terbesar di Pulau Sumbawa, yang merujuk pada Sumbawa Timur,” tulis Skinner editor dalam Syair Perang Makassar. 

Pertempuran sangat sengit dikedua belah pihak, antara pasukan Gowa dan sekutunya dengan  VOC bersama sekutunya, “Satu pertempuran dilapangan terbuka di garis pertempuran Barombong Makassar telah terjadi dengan sangat sengitnya, menyebabkan kedua belah pihak memberikan korbannya yang sangat mahal,” tulis Mattulada.

Keterlibatan Sultan Bima dalam perang Makassar mempunyai julukan tersendiri yaitu “I`Ambela” begitu panggilan para prajurit Gowa kepadanya, namun beberapa sumber belum jelas mengartikan julukan tersebut, ada yang mengartikan julukan tersebut berarti penunggang kuda putih yang pemberani.

Setelah melakukan perlawanan yang sengit dan hebat, akhirnya Gowa harus menerima kekalahan pada pertempuran melawan VOC dan sekutunya karena pasukan yang terkepung dalam Benteng juga kelaparan melanda pasukan Gowa, kemudian Belanda menawarkan perundingan perdamaian. Maka pada hari Jum`at 18 November 1667 tercapailah kesepakatan damai yang dikenal dengan perjanjian Bungaya.   

Namun isi dalam perjanjian tersebut mengharuskan Sultan Hasanuddin memutuskan hubungan kerjasamanya dengan Sultan Bima, dalam isi perjanjian tersebut berulang kali pihak Belanda menyebutkan Bima yang tertera pada pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Pada pasal 28 Belanda memberikan perhatian khusus dengan menegaskan bahwa:

“Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.”

Sultan Bima Abdul Kahir Sirajuddin dan Karaeng Bontomaranu menjadi buronan nomor satu VOC yang harus segera ditangkap, dalam Dagregister Belanda pada 22 Juli 1669 dimana termuat surat Sultan Bima dikirimkan untuk Gubernur Jendral Joan Maetsuyker di Batavia, isi surat tersebut beberapa kalimatnya sangat mengolok-olok Belanda, dimana Sultan Bima menulis, “Kemudian saya ludahi sembilan orang Belanda, membunuh mereka, untuk memperoleh kebebasan saya” tulis Sultan Abdul Khair Sirajudin dalam suratnya (Dagregister Hlm 371).


Oleh : Fahrurizki




3 komentar Blogger 3 Facebook

 
Mbojoklopedia © 2013. All Rights Reserved. Powered by Jelajah Bima
Top