Namun memasuki akhir abad 18 suatu peristiwa kudeta terjadi di era Sultan Abdul Hamid (1773-1817) yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan bergelar Jeneli Sape yang tak lain adalah adik Sultan sendiri tapi beda Ibu. Peristiwa pemberontakan Jeneli Sape terjadi pada tahun 1790 yang mencoba menggulingkan kekuasaan kala itu dengan para pengikutnya.
![]() |
Pasukan kuda Kesultanan untuk menghalau kerusuhan jika terjadi di Bima yang dipimpin oleh para Ananguru, foto sekitar tahun 1920-an |
“Pada hari ini datang segala gelarang pada negeri kecil datang mengadukan tiap-tiap hal orang membawa nama Tuan Kita Raja Jeneli Sape menyuruh ambil harta orang dalam negeri-negeri kecil bernama rakyat serta duduk berkumpul segala perdana menteri di Lubar.”(Iman dan Diplomasi_2007)
Awal masalah yang dibuat Jeneli Sape terjadi pada tahun 1785, seringkali para Gelarang (Kepala Desa) datang mengadu kepada Sultan atas ulah adiknya tersebut yang sering membuat onar, karena menjadi biang masalah sering kali dia dipindahkan dan melarikan diri akibat ulahnya.
Pada tahun 1787 dia bergabung dengan suatu tarekat dibawah pimpinan seorang yang bernama Khoja (orang India) dimandikan dan dibaiat, pada tarekat ini dia mempelajari Ilmu Dabus yang mengajarkan ilmu kebal dan diangkat sebagai Khalifa untuk wilayah Bima. Jeneli Sape adalah jabatan untuk kepala wilayah (distrik) di timur yang meliputi Sape dan Wawo.
Seringnya membuat ulah dan merampas harta rakyatnya yang sangat meresahkan Sultan, kemudian dia dipindahkan dan diangkat untuk menjadi seorang Naib di Reo namun itu tidak mengubah tabiat Jeneli Sape yang tamak. Memasuki tahun 1790 Jeneli Sape mencoba menggulingkan pemerintahan kakaknya dengan mempengaruhi beberapa pejabat istana lainnya untuk mendukungnya, pada tahun itu kezaliman Jeneli Sape merajalela di tanah Bima dan haus akan kekuasaan.
Mendengar saudaranya melakukan makar dan ingin menggulingkan kekuasaannya di tanah Bima, Sultan memerintahkan pasukan kesultanan untuk meredam pemberontakan yang terjadi. Pasukan Jeneli Sape kalah telak dan usaha pemberontakan Jeneli Sape gagal lalu dia melarikan diri ke Makassar dan bersembunyi disana untuk meminta perlindungan kepada Belanda.
Usai peristiwa itu berlalu, dua tahun kemudian (1792) Sultan Abdul Hamid saat berkunjung ke Makassar oleh Gubernur Belanda Willem Beth ingin mendamaikan perseteruan dua saudara itu karena berhubung Jeneli Sape juga berada di Makassar ingin minta ampun dan mengakui semua kesalahannya pada Sultan.
Sikap Sultan Abdul Hamid sangat tegas didepan Gubernur dengan mengatakan “melainkan adat Tanah Bima itu beta taruh di atas batu kepala beta” yang berarti bahwa Jeneli Sape telah melanggar adat resam tanah Bima yang sangat dihormati oleh Sultan dan aksi pemberontakan itu suatu kesalahan besar dan sulit dimaafkan (Alamat Sultan, Chambert Loir_2004).
Setelah tidak dimaafkan dan diampuni oleh Sultan, Jeneli Sape pergi menuju ke Pota di Manggarai, disana dia dibunuh oleh cucu dari Raja Bicara Ismail Manggemaci, peristiwa terbunuhnya Jeneli Sape tidak tertera tahun kejadiannya, kemungkinan di tahun yang sama yaitu tahun 1792 sebaliknya dia dari Makassar.
Oleh : Fahrurizki
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar