
Raja Bicara Abdul Nabi salah satu Wazir Al-Muazam kesultanan Bima ialah jabatan tertinggi sebagai pemegang kebijakan dan kepala pemerintahan (Perdana Mentri) Hadat kesultanan yang mempunyai kepandaian dalam Ilmu pemerintahan. Sebagai tokoh yang sangat diplomatis dan cerdas, Abdul Nabi di mata rakyatnya dikenal sebagai pejabat yang loyal pada kesejahteraan rakyat.
Berbagai kebijakan dan perkara yang Abdul Nabi buat sangatlah berpihak pada rakyat. Saat beliau menjabat sebagai Raja Bicara Kesultanan berbagai perkara jual beli harta para pejabat sangatlah ketat dan haruslah wajib di laporkan pada pihak Majelis Hadat (pemerintahan) agar seluruh pejabatnya terhindar korupsi.
Di lahirkan pada hari kamis 21 Oktober 1751 di Makassar, saat Ayahnya menjabat Tureli Sakuru (Ruma Parenta) yang memang bertugas untuk urusan Diplomatik Kesultanan. Ilmu pemerintahan didapatkan oleh Abdul Nabi dari Ayahnya bernama Muhammad Hidir, selain mendapatkan Ilmu pemerintahan pada Ayahnya Abdul Nabi juga belajar pada ketiga kakaknya yang sudah menjabat sebagai Raja Bicara Kesultanan yaitu Ismail Manggemaci, Muhyidin Nangalere, dan Abdullah Mambora Ese Reo.
Saat usianya masih sangat muda Abdul Nabi di angkat sebagai Kadi kesultanan, setelah menjabat sebagai kadi kemudian di angkat sebagai Tureli Donggo. Dan di usianya yang ke 48 tahun Abdul Nabi di lantik oleh Sultan Abdul Hamid (1773-1817) sebagai Raja Bicara ke 12 pada 10 Januari 1805 (Bo Sangaji Kai, Naskah 11, Hal 443).
Setelah menduduki jabatan Raja Bicara Sembilan bulan kemudian pada 15 September 1805, Abdul Nabi membuat kebijakan baru yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulu sebelumnya yaitu mengeluarkan upah naik Haji (BSK, Hal.60, Naskah 35). Kebijakan upah naik Haji tersebut di peruntukkan bagi para Ulama Bima, Pejabat Istana serta raja-raja lain di Pulau Sumbawa, di antara para bangsawan yang di kirim ke Mekkah yaitu Abdullah Bin Hidir, Demung Alas, Datu Seran, Tureli Bolo Abdullah dan Jeneli Woha Abdul Jalal. Tentu juga hal ini atas persetujuan dari Sultan Bima yaitu Abdul Hamid.
Saat Abdul Nabi menjabat, peraturan Hukum Islam sangat di utamakannya yaitu para pejabat istana di wajibkan menjalan sholat lima waktu, bersedekah dan puasa. Dan yang paling di tentang oleh Raja Bicara saat itu adalah mengenai perbudakkan, pada awal abad 19 di Nusantara bagian timur saat itu perbudakkan merupakan komoditi yang menggiurkan serta merajalela dan sering terjadi transaksi penjualan budak dengan jumlah ribuan seperti di Bima itu sendiri hingga Flores, Ende dan Sumba.
Dari catatan lama mengatakan bahwa jumlah perdangangan budak yang terbanyak itu terjadi di Nusa Tenggara, “tahun 1814 Batavia memiliki budak sebanyak 18.972 orang, sebagian besar mereka berasal dari Nusa Tenggara yang didatangkan melalui Bima, Bali dan Makasar.”di kutip dari Nuryahman, S.S dalam artikelnya Perdagangan Budak di Nusa Tenggara Sampai Pada Abad ke-19.
Dalam hal perbudakkan Raja Bicara Abdul Nabi mengeluarkan Peraturan atau undang-undang khusus bagi orang yang tidak mampu membayar hutang, tidak diperbolehkan menjual diri mereka sebagai pelunas hutang mereka, undang-undang tersebut berbunyi :
“Sebagai Lagi (alamat orang berhutang), orang dalam negeri bernama rakyat itu tiada boleh diperhambakan sama rakyat, meski lebih daripada harga dirinya sekalipun melainkan ia berhutang juga namanya”. (BSK, Naskah 35b, Hal.69)
Setelah Sultan Abdul Hamid mangkat pada 14 Juli 1817 dan tampuk kepemimpinan Kesultanan Bima di gantikan oleh anaknya Sultan Ismail (1817-1854), bersama Raja Bicara Abdul Nabi Sultan Ismail bahu membahu membangun kembali perekonomian Kesultanan yang terpuruk akibat dari efek letusan Tambora yang sangat merugikan.
Dalam setiap kontrak dengan Belanda, Abdul Nabi tidak begitu banyak menyetujui kontrak yang terasa sangat merugikan rakyat dan Kesultanan, hal ini membuat pihak Belanda sangat terusik. Tahun 1820 langkah yang di ambil oleh pihak Belanda dalam urusan kontrak kerja langsung mengirim seorang keturunan Arab yang bernama Khojah Ibrahim untuk menemui Sultan Ismail. Isi dari perjanjian tersebut sangatlah merugikan pihak Kesultanan Bima jika di tolak maka kekuatan militer Belanda beserta Kerajaan lain akan menggempur Kesultanan Bima, oleh sebab itu langkah yang di ambil oleh Sultan Ismail beserta Raja Bicara Abdul Nabi saat itu adalah menjalankan perdagangan bebas yang merugikan Belanda.
Raja Bicara Abdul Nabi adalah seorang bangsawan yang sangat cerdas dan ahli dalam pemerintahan. Seperti yang di ungkapkan oleh Reindwardt saat pertemuannya bersama Abdul Nabi yang sudah berumur 72 tahun saat itu, di Bima pada tahun 1821, dia menulis “Patih (Raja Bicara) itu rupanya orang yang arif yang terutama memperhatikan agar kontrak-kontrak yang telah diikat dengan pemerintahan kita di penuhi secara seksama.” Dikutip dalam bukunya Reis Naar Het Oostelijk Gedeelte Van Den Indischen Archipel.
Selain sebagai seorang pejabat tinggi Kesultanan bergelar Ruma Bicara, beliau juga adalah seorang seniman yang gemar memainkan musik dan juga Abdul Nabi sangat mahir membuat alat-alat musik, seperti Sarone, Gendang, dan alat-alat lainnya.
Pada tanggal 17 Juli 1839 Raja Bicara Abdul Nabi menghembuskan nafasnya yang terakhir pada malam hari. Kesultanan Bima kehilangan tokoh yang cerdas, bijak dan berpengalaman dalam mendampingi dua Sultan (Abdul Hamid dan Ismail) untuk membangun kejayaan Kesultanan, setelah Abdul Nabi wafat posisi Raja Bicara di gantikan oleh anaknya Muhammad Yakub.
Oleh : Fahrurizki
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar