
Dalam beberapa halaman syair kerajaan Bima di kisahkan sedetail mungkin kejadian meletusnya gunung Tambora tahun 1815 dan peristiwa lainnya di tahun itu oleh seorang Khatib kesultanan Bima yang bernama Khatib lukman, selain sebagai seorang Khatib Kesultanan Bima yang memberikan Khotbah di Masjid Kesultanan beliau juga merupakan seorang penyair.
Khatib Lukman terlahir dalam keluarga istana Kesultanan Bima, salah satu dari Keturunan Sultan Hasanuddin (1696-1731) dengan salah satu istrinya yang bernama Ince Bagus dari kampung melayu, riwayat keluarga Khatib Lukman memilih menjadi Melayu, tercatat pada BSK (Bo Sangaji kai) naskah 85-88, yang terjadi pada 13 September 1713 Masehi dimana Sultan Hasanuddin melepaskan anak dan istrinya yang memilih menjadi Melayu.
Setelah keturunan Sultan Hasanuddin yang bernama Muslimin menjadi orang Melayu, mempunyai persyaratan dan surat perjanjian yaitu anak cucu-nya harus memegang salah satu jabatan di istana Kesultanan, dan kebanyakan keturunan Sultan dari istrinya Ince Bagus banyak memilih menjadi sebagai khatib yaitu jabatan khatib tunggal yang hanya dijabat oleh orang-orang melayu dari keturunan Muslimin.
Latar belakang kehidupan ilmu agama Khatib Lukman kebanyakan didapatkan di kampung Melayu, di besarkan dalam lingkungan agamais dan di asuh oleh para penghulu Melayu yang terkemuka di Bima.
Syair karya Khatib Lukman ini menceritakan kejadian dan peristiwa yang terjadi di kesultanan Bima dan sekitarnya mulai dari tahun 1815 hingga tahun 1819 masehi, dalam Syair Kerajaan Bima tersirat dari bait 1-10 petuah dan pengenalan pengarang, bait 11-82 yaitu tentang letusan gunung Tambora yang terjadi tiga hari tiga malam, bait 218-288 mengenai bajak laut, dan bait 289-487 tentang penobatan Sultan Ismail. Bahasa yang di pakai oleh khatib lukman dalam syairnya yaitu bahasa melayu seperti di tanah sumatera.
![]() |
Syair Kerajaan Bima halaman pertama dan kedua |
Pada tahun jim awal mulanya
Diturunkan bala kepada hambanya
Tanah Bima hangus semua padinya
Laparlah orang sekalian isinya
Lapar itu terlalu sangat
Rupanya negeri tiada bersemangat
Serasa dunia bekas kiamat
Sukarlah gerangan baiknya bangat
Kemudian di bait ke 22 – 24 di tulis kejadian lanjutan letusan Tambora di hari berikutnya dimana hujan pasir mulai turun saat subuh, semua orang terkejut dengan apa yang mereka lihat dari kejauhan Tambora.
Ayam berkokok haripun siang
Undurlah orang daripada sembahyang
Turunlah pasir bagai dikarang
Habislah terkejut sekalian orang
Pasir di sangka hujan yang titik
Jatuh di atap bunyinya mengeritik
Hari yang terang kelam berbalik
Air yang hilir menjadi mudik
Tiadalah beberapa lamanya selang
Turunlah abu bagai dituang
Geger gempar sekalian orang
Terkejut melihat sekalian tercengang
Hari berikutnya setelah letusan, Khatib Lukman menceritakan suasana krisis pangan di pulau Sumbawa, banyak berbagai kapal dagang dari Sulawesi, Jawa dan Maluku datang untuk menjajakan dagangan mereka pada masyarakat yang kelaparan. Dimana itu termuat dalam bait 68- 70 melukiskan kelaparan yang sangat parah hingga harta benda habis untuk dijual.
Dagang yang datang berbagai jenis
Jawa Melayu Mengkasar Bugis
Membawa beras padi gula manis
Berpuluh perahu jua yang habis
Semuanya dagang datang terhimpun
Ada dari ternate ada dari Ambon
Ada Bonerate adalah Buton
Membawa sagu jagung bersusun
Datangnya dagang bertindih-tindih
Ada yang dari Sulu ada dari Ende
Membawa jagung kacang kedelai
Ditukarlah dengan cawan dan cindai
Korespondensi letusan Tambora yang terjadi di tulis oleh Khatib Lukman dalam Syair Kerajaan Bima menjadi patokan refrensi oleh peneliti seperti roorda Van Eysinga, Heinrich Zollinger, C.G.C Reinwardt, dan Henri Chambert-Loir. Hingga sekarangpun syair SKB menjadi rujukan untuk menulis mengenai Tambora.
Oleh : Fahrurizki
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar